Kirana mengetuk pintu kamar mandinya berkali-kali. Tidak ada jawaban. Dengan resah ia menghitung waktu di layar handphonenya. Tersisa setengah jam lagi menuju jadwal masuk sekolah hari pertamanya.
"Nan, lama banget! Nanti telat nih!" teriak Kirana.
Kirana terus mengetuk pintu kamar mandinya tanpa henti.
"Sebentar lagi!" balas Nan tanpa merasa bersalah.
Mendengar suara ribut dari kamar Kirana, Mamahnya pun datang menghampiri dan langsung memberikan sikat gigi ke arah Kirana.
"Kirana kamu masih belum mandi? Mandi di kamar mandi Mamah saja."
"Bilangin tuh ke anaknya mau mandi berapa lama pun enggak akan melunturkan dosa-dosa jahatnya ke adiknya."
Kirana langsung kabur dari kamarnya setelah mendengar teriakan ancaman Nan dari dalam kamar mandi yang mengatakan tidak akan mengantarkannya ke Sekolah.
Turun dari lantai atas Kirana langsung menuju kamar mandi orang tuanya, ketika ia masuk Kirana melihat pantulan dirinya dalam cermin di depannya.
Ia basahi kaca tersebut untuk memberikan kejernihan yang baru. Selama beberapa detik dalam diam ia pandangi dirinya sendiri lekat-lekat. Ia mendapati seorang perempuan muda berambut pendek tengah mematung dengan jutaan pikiran di kepalanya.
Adalah menggosok gigi yang menjadi aktivitas favorit Kirana ketika mandi. Perlahan ia selimuti bulu-bulu sikat giginya dengan odol berwarna putih yang segera memenuhi mulutnya. Dalam keheningan ia mengamati sikat gigi tersebut yang keluar masuk dan membuat banyak busa di dalam mulutnya. Ia tersenyum sendiri melihatnya.
Dalam kesunyian dengan hanya ditemani bunyi gesekan gigi yang beradu, dunia seolah mengecil dan hanya menyisakan dirinya dengan sikat giginya. Lalu dari kesunyian tersebut melahirkan sebuah pikiran yang membawanya pada suatu ingatan tentang kecemasan yang ia simpan beberapa bulan terakhir ini.
Kirana tahu hari ini akan datang, tapi ia tidak menyangka bahwa hari tersebut adalah hari ini.
Hari pertamanya menuju gerbang kedewasaan. Kirana mencoba menamakannya.
Hari di mana untuk pertama kali ia tidak akan bertemu dengan teman-teman dekatnya di SMP dulu. Hari pertama ketika ia menjadi orang asing kembali di lautan orang-orang baru. Dan hari pertama dari tiga tahun ke depan ia akan bersekolah di tempat yang tidak terlalu ia sukai.
Rasa tegang di perutnya begitu terasa. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana memulai hubungan dan rutinitas yang baru lagi dengan orang-orang dan lingkungan yang belum pernah ia kenal sebelumnya.
Selama tiga tahun sebelumnya hidupnya terasa sudah baik-baik saja bersama sahabatnya Dita dan seisi keluarganya yang selalu mengolok-ngolok dirinya. Namun, hari ini ia tengah meresikokan dan mempertaruhkan semuanya.
Akankah ia bisa melalui ini semua?
Ia kumur-kumur air keran dengan gelisah untuk membersihkan sisa busa di dalam mulutnya. Setelah terasa bersih dan tidak ada yang tersisa ia sekali lagi mengamati sosok dirinya di dalam cermin.
Segala ketakutan yang berputar di kepalanya bagai tali yang mengikat dirinya dengan begitu menyesakkan. Rasa cemasnya memenuhi terlalu banyak porsi di kepalanya pagi ini. Ia takut tenggelam di dalamnya.
Kirana kemudian berfikir keras mencari satu alasan untuk melepaskan dirinya dari ikatan tersebut. Sebuah motivasi yang akan membuatnya terus bergerak untuk menghadapi harinya nanti.
Setelah berfikir cukup keras ia kemudian menjetikkan jarinya dan tersenyum lebar. Seolah mendapatkan kesadaran baru dalam hidupnya. Sebuah motivasi yang dengan mantap Kirana katakan pada dirinya sendiri.
YOU ARE READING
KIRANA
Teen FictionSeorang anak baru memutuskan melawan seisi sekolah dengan membuat PENSI yang tidak pernah ada sebelumnya di SMA kota kecilnya demi mendapatkan perhatian kakak kelas idolanya, sementara dia harus berurusan dengan kegilaan pernikahan kakaknya, nilai s...