Hari ini akan menjadi hari yang berat bagi Arin. Sudah lewat beberapa bulan sejak kejadian murungnya ia waktu itu. Juga sudah hari kelima ia melaksanakan ujian akhir semester.
Hari ini adalah hari penentu, dimana akan ada keputusan untuk nasib keluarga kecilnya. Hari ini adalah sidang terakhir perceraian kedua orang tuanya yang berarti bahwa kedua orang tuanya akan dinyatakan resmi bercerai. Pelajaran fisika yang diujikan hari ini begitu memusingkan membuat kepalanya panas ditambah lagi dengan pikiran tentang nasibnya nanti, sungguh rasanya ia ingin lari dari kenyataan ini. Rasanya terlalu berat untuk ia lewati sendirian. Ia butuh seseorang untuk bersandar, tapi sandarannya, rumahnya, memutuskan untuk berpisah. Membuat ia bimbang ketika ia hanya satu-satunya dan harus memilih salah satu dari kedua orang tuanya. Mau bagaimana pun ia tak bisa memilih, ia diminta harus berlaku adil kepada keduanya. Hormat juga rasa kasih sayangnya dituntut harus selalu sama untuk keduanya. Harus selalu imbang jika ia tak mau dikatai sebagai anak durhaka atau pilih kasih pada orang tuanya yang masing-masing merasa memiliki kasih yang lebih besar untuknya. Baginya kasih kedua orang tuanya sama, tak ada yang lebih dan tak ada yang kurang. Tapi mereka selalu mengatakan bahwa "Ayah lebih menyayangimu lebih besar kasih ayah untukmu dibanding kasih ibu untukmu." Begitu sebaliknya. Entah mengapa mendengar hal yang acap kali kedua orang tuanya katakan itu membuat hatinya sedikit teriris. Bagaimana bisa mereka mengatakan jauh lebih menyayangi Arin dari satu sama lain, jika akhirnya keduanya sama-sama menyakiti Arin dengan keputusan berpisah.
Anak mana yang akan merasa bahagia ketika kedua orang tuanya berpisah? Pasti jika ditanya pun tak akan ada anak yang menjawab senang dan bahagia ketika mendengar orang tuanya berpisah. Bahkan mendengar kedua orang tuanya bertengkar saja sudah membuat hati terluka. Tapi bagi Arin, sakit itu tak sebanding dengan kebahagiaan yang orang tuanya dapatkan setelah mereka berpisah. Keduanya tak harus memaksakan diri satu sama lain, tak perlu lagi membuang energi percuma hanya untuk mempermasalahkan hal-hal sepele yang sebenarnya mudah diselesaikan tapi dibuat rumit oleh keduanya, tak akan lagi ada pertengkaran juga keributan yang begitu memusingkan.
"Huhh" Arin menghela nafas panjang.
Arin mengemasi barang-barangnya, bersiap pulang untuk mendatangi persidangan terakhir kedua orang tuanya. Nafasnya begitu berat, bahkan langkahnya sekarang pun terasa sangat berat. Masih 4 jam lagi sebelum sidang itu dimulai. Arin ingin menyegarkan pikirannya dulu sebelum menerima akhir dari segalanya.
Langkahnya terhenti ketika lelaki tampan berwajah tegas itu menghalaunya. Menunggunya di lorong menuju gerbang sekolah. Bisa ia lihat dengan jelas senyum menawan lelaki itu ketika netra tajamnya bertemu dengan netra hitam Arin.
"Hai." Sapanya pada Arin.
"Hai, Jeon. Kenapa belum pulang? Menunggu seseorang?" Tanya Arin penasaran.
"Hm... Ayo!" Ajak Wonwoo tiba-tiba.
"Ayo?"
"Aku menunggumu jika kamu masih belum paham." Kata Wonwoo mengulurkan tangannya.
Ia menaikkan alisnya menanti Arin untuk menyambut tangannya.
Lama Arin terdiam membuat Wonwoo segera meraih tangan cantik itu.
"Ayo, ikut aku."
Lagi-lagi keduanya menaiki sebuah motor traill yang beberapa bulan lalu mengantarkan mereka ke sebuah taman yang begitu indah, entah apa namanya. Kini rasa penasaran Arin tak lagi tertahan, ia memberanikan diri untuk bertanya atas kepemilikan motor gagah ini.
"Jeon!" Panggilnya dengan volume yang sedikit keras, mengingat begitu bisingnya kendaraan-kendaraan lain yang juga ikut melintasi jalan raya ini.
"Hm?"

KAMU SEDANG MEMBACA
MENYIMPAN RASA - JEON WONWOO
ФанфикJika ada kontes mencintai seseorang tanpa disadari, maka aku lah pemenangnya. Karena menyimpan rasa adalah ... kemampuanku. [29 Jan 2019- 11 Mei 2020]