10

96 10 1
                                    

Hari demi hari berlalu...

Musim demi musim berganti...

Semua telah terlewati...

Kini, usia tak lagi sama...

Angka 17 kini telah berubah menjadi 25, sudah 8 tahun berlalu.

Arin tak pernah lupa dengan masa-masa itu, masa dimana 8 tahun lalu adalah masa indah juga awal penyesalan dirinya.

Sambil menikmati kopi dan hujan di sore hari, ingatannya kembali ke masa 8 tahun yang lalu. Masa dimana Wonwoo selalu ada menemaninya.

Setelah hari itu, hari dimana Arin dan Wonwoo mengikat janji untuk selalu ada untuk satu sama lain, tiada hari yang terlewatkan sendiri. Bagai permen karet, keduanya selalu menempel kemanapun mereka pergi. Pergi ke sekolah bersama, dengan Arin yang selalu ada di belakang Wonwoo, memeluk erat Wonwoo yang mengemudikan motor gagah kesayangannya, belajar berdua di sudut pojok perpustakaan, menikmati bekal yang tak henti Arin buat untuk mengganjal perut keduanya di taman belakang sekolah, menikmati hujan di atas motor, menanti senja berganti malam, hampir semua hal mereka lakukan berdua. Ya, hanya berdua. Arin yang terlanjur candu dengan kehadiran Wonwoo di sisinya, dan Wonwoo yang rasa-rasanya juga menikmati peran barunya sebagai sandaran gadis cantik yang senyumnya selalu terbayang siang dan malam.

Tak terasa sebentar lagi keduanya akan berpisah. Arin yang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di kota lahir sang bunda dan Wonwoo yang melanjutkan pendidikan di belahan bumi bagian barat. Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Entahlah, mereka sepertinya pernah membahas hal ini. Namun...

"Kamu kapan berangkat, Rin?" Tanya Wonwoo menatap Arin yang sibuk membereskan kopernya.

"Minggu depan mungkin, Jeon. Setelah kamu pergi ke London." Ucapnya berusaha tegar.

"Eng... hmm. Naik kereta?"

"Iya." Senyum Arin.

Hening menyelimuti keduanya.

"Kita..." kata yang terucap dari mulut lelaki tampan itu membuat Arin berhenti dari kegiatannya.

Ia kemudian memandang Wonwoo yang juga memandanginya dari ujung tempat tidur.

"Kita kenapa?"

"Ngg... Ani! Just, kita bakal berpisah?"

Lagi-lagi hanya senyum yang bisa Arin berikan untuk Wonwoo.

"I told you that i'll always on your side, right? I... I don't wanna to leave you."

"Bahasa inggrisnya jago banget sih, keren deh." Arin berusaha untuk tak apa.

"Aku serius!"

Arin menghembuskan nafas yang tertahan. Rasanya sedikit sakit di dada. Agak perih mengingat tak ada lagi Wonwoo yang akan menemani hari-harinya nanti. Tak ada lagi pria tampan yang akan menjemputnya setiap pagi, mengajaknya berkeliling dengan motor traill hitam miliknya, menemaninya belajar di perpustakaan, dan menggenggam tangannya saat ia butuh kekuatan. Tak ada lagi, tak akan ada lagi Jeon Wonwoo setelah ini.

"Aku udah pernah bilang kan? Masa depan itu penting, Jeon. London adalah mimpimu. Untuk apa kamu men-sia-sia-kan kesempatan hanya demi menemani aku? Aku tersanjung, but no thanks! Aku menolak." Arin kembali merapikan barang yang akan ia bawa pergi minggu depan.

"Rin..."

"Gak ada kamu bukan berarti aku ga akan pernah punya teman lain kan, Jeon? Aku akan belajar untuk lebih bisa bergaul lagi nantinya."

"Apa kamu..."

"-apa aku hanya sebatas teman buatmu, Rin?" Arin terdiam, ia membeku.

Arin tak tahu harus menjawab apa. Arin bingung mau bilang apa. Dalam hatinya berkecamuk. Arin ingin bilang bahwa Wonwoo bukan hanya sebatas teman, bahwa Wonwoo adalah satu-satunya lelaki yang ada di hidupnya setelah sang ayah, bahwa Wonwoo, kehadiran Wonwoo di sisinya adalah sebuah kebahagiaan untuk Arin. Ia ingin sekali mengungkapkan hal itu, namun apa daya.
Lagi, lagi, dan lagi, entah kemana perginya keberanian itu. Hanya sedikit bahkan mungkin nol, nyali Arin untuk jujur.

MENYIMPAN RASA - JEON WONWOOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang