"Uhuukk uhuukk.... Arghh!!" Arin melenguh sakit.
Sejak semalam ia terus batuk-batuk. Tenggorokannya sakit, hidungnya mampet, dan kepalanya pun sangat pening.
Keadaan rumah sangat sepi, ayahnya sudah berangkat bekerja. Ibunya sudah tak lagi tinggal di rumah itu. Disaat seperti ini mau tak mau Arin harus mengurusi dirinya sendiri. Dengan rasa sakit kepala yang semakin menjadi, dirinya bangkit. Menuruni tangga menuju meja makan untuk mengambil segelas air. Ketika dirinya akan beranjak naik, suara bel rumah yang terdengar nyaring itu menghentikan langkahnya.
"Haruskah aku menerima tamu?" Monolognya.
Ting tong ting tong
Bel yang terus berbunyi memaksanya untuk melangkah ke depan dan membukakan pintu tamunya.
Ketika membuka pintu rumah, mata Arin membulat sempurna.
"Jeon Wonwoo?"
"Hai."
"Tunggu, kenapa kau kemari? Bukankah ini belum jam pulang sekolah?"
"Suaramu lucu sekali." Wonwoo tertawa.
'Apa? Lucu? Hey, bukan saatnya kau tersipu, Park Arin! Sadarlah!' batinnya bersuara.
"Hihh! Jawab dulu pertanyaanku, Jeon!"
"Pertanyaan apa?"
"Kok bisa ada disini? Ini kan belum jam pulang sekolah."
"Ohhh itu... yaa, jam kosong di pelajaran terakhir. Daripada bosan di kelas, lebih baik aku kemari."
"Aku ga boleh masuk nih?" Tanyanya lagi.
"Ah iya, silahkan masuk." Wonwoo tersenyum.
"Kau mau minum apa?"
Bukannya menjawab Wonwoo malah menempelkan tangannya di kening Arin.
"Panas sekali."
Hal itu sukses membuat Arin membeku, seolah tubuhnya kaku seperti patung.
"Sudah minum obat?"
"S-sudah." Jawabnya sambil mengangguk.
"Sudah makan?"
"Mm... Su..dah."
"Ayo makan!"
"Aku bilang sudah."
"Tadi pagi?" Arin tak mampu menjawab.
Memang benar, hampir sore ini Arin belum sempat makan siang. Tubuhnya terlalu lemas untuk sekedar menyuapkan sesendok nasi.
"Aku bawa makanan, ayo kita makan." Ajak Wonwoo sekali lagi.
Mau tak mau Arin menuruti Wonwoo.
"Aaaa~~"
"Aku bisa sendiri, Jeon."
"Kalau kamu bisa makan sendiri bukankah seharusnya daritadi kamu makan? Hm?"
"-Kenapa malah menyiksa diri begitu?"
"Aku...."
"Buka mulutmu, Rin."
"Sini biar aku makan sendiri."
"Anggap saja aku ini perawatmu. Jadi biarkan aku menyuapimu." Sungguh Arin merasakan tubuhnya semakin panas.
Jeon Wonwoo ini kenapa sih senang sekali membuat hatinya berdebar tak karuan.
"Apa sakit sekali, Rin?" Tanya Wonwoo khawatir.
"H-ha?"
"Wajahmu sampai merah, apa sangat sakit?"
Dalam hati Arin bersyukur. Untung saja Wonwoo tidak sadar jika ia sedang tersipu.
"Ani. Tak apa. Mungkin karena efek demam jadi merah." Haha pandai sekali kau menutupinya Arin.
"Kalau begitu ayo cepat makan, lalu minum obat agar kamu cepat sembuh."
"Hmm baiklah." Senyum manis menghiasi wajah cantik Arin.
"Belepotan!" Wonwoo mengusap sudut bibir Arin menggunakan jempolnya.
"Hahaha" Wonwoo tertawa ketika melihat wajah kaget Arin.
Mata yang membulat hingga gadis itu yang menahan nafas membuat tawanya pecah. Sangat lucu baginya.
"Lucu."
"S-siapa?" Bodohnya tak ada lagi yang bisa ia ucapkan.
"Kamu." Wonwoo mendekatkan kepalanya membuat Arin semakin salah tingkah.
"A-apasih Jeon!" Arin memalingkan wajahnya gugup dan membuat Wonwoo terkekeh melihatnya.
"Ayah pulang jam berapa?"
"Hm? Ng... Ayah pulang jam 7 biasanya."
"Ohh..."
"Kenapa?"
"Aku... Boleh tidak menjagamu disini? Sampai ayah pulang." Arin mengerjap beberapa kali.
Ha? Wonwoo mengatakan apa tadi? Menjagaku? Astaga! Hey, bibir jangan terlalu lebar kau tersenyum! Kau juga pipi jangan memerah sesukamu! Aku... Malu.
Ah tidak-tidak! Sadarlah Park Arin! Sadar!
"Ah, tidak usah, Jeon. Nanti merepotkanmu lagipula aku sudah tidak apa kok. Kamu juga belum pulang ke rumah lho dari sekolah."
"-Apa ibumu tidak mencarimu?"
"Tenang saja, aku sudah ijin." Jawabnya meyakinkanku.
"Jadi... Boleh tidak?" Tanyanya lagi.
"Nanti merepotkan, Jeon." Kataku menggeleng.
"Tidak! Sama sekali tidak! Aku tidak merasa repot, serius!" Ucap Wonwoo yakin.
"Tapi..." Arin menaikkan sebelah alisnya.
"Pintunya dibuka gapapa ya, Rin? Soalnya..." Lagi-lagi Wonwoo menggantungkan kalimatnya.
"Soalnya ga enak kalo cuma berdua di rumah, takut..."
"Takut... Kamu tau kan maksudku?" Wonwoo menatap Arin takut-takut.
Bukannya menjawab Arin malah tertawa. Wonwoo yang melihat pun kebingungan.
"Ke-kenapa? Ada yang lucu?"
'Ya ampun polos banget sih. Kan aku jadi gemes liatnya, Jeon.' batin Arin.
"Ani. Hehe." Terdengar suara kekehan Arin.
"Baiklah, kalau memaksa. Maaf jika aku merepotkanmu." Arin mengakhiri kalimatnya dengan senyum tulus.
"Sama sekali tidak kok, kamu... Beristirahatlah, Rin. Aku akan duduk disini, menemanimu darisini." Katanya sambil menepuk-nepuk sofa ruang tamu yang ia duduki.
"Eung... Baiklah. Kalau gitu aku ke atas. Kau bisa menyalakan TV jika bosan atau bisa mengambil camilan di dapur jika lapar. Tak usah merasa tidak enak, anggap saja rumah sendiri." Wonwoo tersenyum.
"Iya. Selamat istirahat yaa, cepat sembuh." Wonwoo mengusap pelan kepala Arin.
"A-aku ke atas ya?" Pamit Arin yang sialnya terlihat gugup.
Wonwoo pun mengangguk dan tersenyum. Sepertinya ia tersenyum karena mendapati Arin yang gugup.
Arin pun segera naik menuju kamarnya. Menutup pintu rapat-rapat, ia menyenderkan tubuhnya yang serasa tak bertulang itu pada pintu kayu tersebut.
"Astaga jantungku!" Ia memegangi dada kirinya.
"Jeon Wonwoo kenapa harus semanis itu sih? Astaga begini ceritanya aku bisa mati muda. Jantungku tak kuat menerima perlakuan manisnya yang tiba-tiba itu. Tapi..." Arin tiba-tiba tersenyum, sangat senang. Saking senangnya bisa kalian lihat ujung bibirnya benar-benar tertarik sampai ke telinga.
Arin menyentuh kepala yang beberapa menit lalu diusap lembut oleh Wonwoo. Sumber dari segala sumber yang membuat detak jantungnya sangat tidak karuan.
"Aah bagaimana ini? Rasanya aku semakin jatuh cinta saja padanya. Aaaa Jeon Wonwoo, kau membuatku gilaaa."
---
Terimakasih, Jeon:))
-A
KAMU SEDANG MEMBACA
MENYIMPAN RASA - JEON WONWOO
Fiksi PenggemarJika ada kontes mencintai seseorang tanpa disadari, maka aku lah pemenangnya. Karena menyimpan rasa adalah ... kemampuanku. [29 Jan 2019- 11 Mei 2020]