さん | Kesempatan

55 11 4
                                    

|•|•|•|•|•|

Aku memang bodoh,
Mengharapkan dia yang sudah jadi milik orang.
Tapi dengan cara itu,
Aku bahagia bisa bersamanya.
Walaupun hanya menjadi yang kedua.

|•|•|•|•|•|

Laki-laki usia 23 tahun itu, bangkit dari tidurnya begitu suara alarm memenuhi indra pendengarannya. Tangannya meraih jam beker disampingnya, mematikan alarm dan melakukan pemanasan sedikit sebelum akhirnya ia bergegas ke kamar mandi.

Pagi ini, hari Minggu pertama setelah ia bertemu dengan Euncha setelah tiga hari yang lalu. Ia sudah berencana untuk mengunjungi wanita pujaannya itu pagi ini di cafe tempat mereka bertemu, Rabu kemarin.

Senyumnya mengembang sejak tadi. Tak sesenti pun memudar dari wajahnya. Setelah mandi, ia langsung menyambar sepotong roti dan kunci mobil lalu melenggang di tengah Seoul.

Atensinya memang fokus pada senggangnya jalanan ibu kota, tapi tidak dengan pikirannya. Sejak tadi, ia membayangkan kejadian manis dengan wanita yang pernah mengisi hari-harinya itu.

Dia benar-benar rindu akan gadis kecilnya yang sekarang akan menjadi sosok ibu bagi anak yang bukan berasal dari pernikahannya dengan Doyoung.

Mengingat Euncha yang sedang hamil muda, membuat Doyoung sedih. Moodnya berubah 180 derajat.

Tapi, mau bagaimana lagi? Cinta sejati tak harus memiliki bukan?

Biarkan wanita yang ia cintai itu bahagia. Dia tak apa walaupun ia jadi yang kedua. Laki-laki itu akan terus menjadi tempat kembalinya wanita itu pulang sampai kapanpun.

Mobil Doyoung berhenti dan terparkir sempurna di depan cafe yang telah diramaikan oleh beberapa pengunjung itu. Dari kaca, sudah terlihat Euncha melayani pelanggannya dengan sangat ramah. Bibir strawberrynya terlihat jelas dan begitu menawan ditambah beberapa helai rambut yang membingkai wajahnya menambah kesan 'lucu' di wajahnya.

Doyoung menggeleng heran sambil tertawa. Bagaimana bisa dia meninggalkan Euncha dulu demi seseorang yang bahkan tidak Doyoung kenal? Sungguh, lelaki yang menjadi suami Euncha sangatlah beruntung.

Pintu kaca terdorong masuk ke dalam diikuti Doyoung. Laki-laki itu terkekeh melihat Euncha yang mengusap keringatnya pertanda lelah.

"Bisakah aku memesan waktumu sebentar, nyonya Kim?" Tanyanya.

Tanpa melepas pandangannya pada gelas coffe, Euncha menggeleng. "Maaf, tapi di menu kami tidak ad-- Doyoung oppa?!"
Seru wanita itu.

"Kenapa kau terkejut, hm?" Tanya Doyoung lengkap dengan suara baritonnya yang menenangkan.

"Aniya. Ayo silahkan duduk. Kau mau apa?"

"Sepotong Coffe bread dan juga Coklat panas, sepertinya enak."

"Ahaha, kau masih saja seperti dulu, oppa. Kalau begitu, sebentar ya, aku siapkan. Kau duduk saja disebelah sana."

Doyoung mengangguk patuh, berjalan menuju kearah yang dimaksud Euncha tadi sambil melihat-lihat interior cafe mini itu.

Warna coklat yang menghiasi dinding-dindingnya ditambah sentuhan-sentuhan kecil membuat cafe ini persis seperti kayu-kayu.

Doyoung menghela napas begitu ia duduk. Melepas syal dan juga jaketnya menyisakan sweater putih yang menghangatkan tubuhnya.

"Kah, habiskan." Suruh Euncha sambil menyodorkan segelas coklat panas dan juga sepotong roti. Doyoung menyambutnya antusias. Menyeruput pelan hot chocolatenya itu.

Euncha memulai obrolan, "Jadi apa yang membuat bapak direktur kita datang kesini?"

"Ey, jangan memanggilku seperti itu."

"Hahaha, memang benar, bukan? Kau nampak keren saat kau memakai jas kemarin. Ternyata, oppa sudah banyak berubah, eoh?"

"Ani, aku tetap anak laki yang kau temui setiap pulang sekolah ditoserba."

Wanita itu terkekeh. Sudah jelas laki-laki dihadapannya berubah 180° dari waktu awal mereka bertemu dulu. Kurang lebih, 5 tahun yang lalu.

Lenggang sejenak. Tak ada percakapan diantara keduanya.

Entah apa yang ada di pikiran Doyoung, laki-laki itu menggenggam tangan Euncha hangat. Sedangkan sang empu hanya terbelak kaget dengan perlakuan Doyoung.

"Maafkan aku atas kejadian yang dulu. Aku benar-benar minta ma--" // "Sudah oppa, tak apa. Aku sudah memaafkanmu. Kau tidak perlu mengingatnya lagi. Itu hanya masa lalu." Potong Euncha sambil tersenyum.

"Baiklah, aku takkan menyinggungnya lagi tuan putri. Kalau begitu, bolehkah aku bertanya sesuatu?" Euncha mengangkat alisnya bingung.

"Apa kau bahagia dengan pernikahanmu?" Tanya Doyoung lagi.

Euncha terdiam. Lebih akan terkejutnya ia dengan pertanyaan Doyoung barusan. Wanita itu bungkam, bingung mau menjawab apa.

"Kenapa diam?"

Wanita itu menghela nafas pelan, sebelum akhirnya menjawab, "Iya, aku bahagia, sangat bahagia."

Laki-laki itu hanya mengangguk tanda mengerti. Harapannya untuk mendapatkan Euncha kembali nampak menciut kecil. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan kecuali diam menunggu dan menjadi rumah bila wanitanya itu membutuhkannya --walaupun kemungkinan itu sangat kecil.

Kembali hening, tak ada percakapan diantara keduanya. Hingga suara dentingan pesan membuat atensi keduanya menuju kearah yang sama --handphone Doyoung.

Doyoung mengambil ponselnya, mengetikkan beberapa huruf untuk balasan. Setelahnya, laki-laki itu kembali letakkan di meja.

"Kau ada waktu kosong?"

"Euhm, memangnya kenapa?"

"Jawab saja ada atau tidak?"

Euncha terkekeh. "Eyy, iya-iya, ada. Kau masih tetap sama, keras kepala."

"Kau ini. Kalau begitu, jalan-jalan bersamaku?"

"Kemana?"

"Kemana saja yang kau inginkan, tuan putri."

"Aku sangat ingin ke taman bermain di distrik Guro-gu yang baru buka beberapa hari lalu. Bagaimana jika kesana?"

"Baiklah, kajja!"

Wanita itu tersenyum sumringah, dan langsung berlarian kearah dapur mempersiapkan apa saja untuk disana nanti.

Sedangkan Doyoung, hanya tertawa melihat tingkah sang pujaan hati.

Tingkahnya masih saja dengan Euncha yang dulu. Itulah alasan mengapa Doyoung masih menyayangi Euncha.

• Mafia In Love •

N; Ngebosenin gak sih? =(

Mafia In Love.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang