Doom

169 9 2
                                    

Aku tersadar oleh sebuah suara yang terdengar familiar memanggil namaku. Mulanya hanya bisikan semata, namun entah kenapa suara yang memanggil namaku itu mulai kesal hingga harus membentakku segala dan membuatku bangun dengan cara tersentak kaget.

Kepalaku terasa seperti habis dibenturkan berkali-kali ke tembok beton sedangkan sekujur tubuh dan wajahku merasa nyeri luar biasa. Apalagi wajah dan beberapa tempat yang sempat terluka. Luka itu pun kelihatannya juga tidak diobati dan dibiarkan terbuka begitu saja.

Sambil meringis kecil aku mencari-cari siapa yang telah memanggil namaku itu dan menyuruhku bangun itu. Sisi buruknya adalah, aku tak menemukan siapapun disekitar sini dan yang lebih buruknya lagi adalah menyadari kenyataan bahwa aku sedang disekap.

Diruangan tertutup yang gelap, dengan penerangan hanya berasal dari jendela yang letaknya amat tinggi hingga tak bisa diraih oleh siapapun kecuali oleh dua pasang leher jerapah. Where on earth am I right now?!

Ketika aku hendak berteriak—entah untuk apa aku tidak tahu. Mungkin karena efek baru bangun tidur—secara perlahan aku menyadari keadaanku lainnya selain luka dan bengkak yang kini menghiasi tubuh dan wajahku.

Ternyata selain tangan dan kakiku diikat, mulutku ikut disumpal oleh mereka menggunakan saputangan. “Shit.” Gumamku.  Apa yang harus kulakukan sekarang? Bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari sini?!

Saking kesalnya menyadari keadaanku sekarang dan apa yang telah terjadi sebelumnya, aku berteriak sekencang-kencangnya hingga bisa membangunkan satu koloni semut yang ada di Afrika sana. Dan setelah berteriak, aku pun menangis sejadi-jadinya.

Air mata yang menyentuh luka-lukaku terasa lumayan perih, tapi tak seperih hatiku yang rasanya ikut terlukaa. Justru jauh lebih parah lukanya daripada luka disekjur tubuhku ini.

Kalau aku memang melakukan hal yang salah pada organisasi milik Isaac, mungkin aku tak akan semarah ini. Tapi, aku merasa aku tak ada hubungan apa-apa lagi dengan mereka, apalagi sejak Jason meninggal. Apa ini balasan karena sudah menguntit pria berbaju biru itu?

“Please let me go… I don’t know what the hell is happening with you guys but just  let me go…” ratapku tidak jelas sambil terus menangis. Tangisan emosi bercampur kesedihan yang amat sangat. Bukan nyawaku yang kusayangkan. Melainkan…

Bagaimana dengan Emily dan Ethan? Aku merindukan tangisan dan teriakan mereka.

Bagaimana dengan Max? dia pasti akan sedih dan marah sekali begitu tahu aku akan mati di tangan Isaac.

Bagaimana dengan Nathan dan the boys lainnya? Aku belum sempat mengucapkan terima kasih pada mereka semua atas apa yang telah mereka lakukan padaku.

Bagaimana dengan Selena? Aku baru satu tahun bertemu dengannya setelah 10 tahun terpisah. Dan sekarang, haruskah kami berpisah kembali?

Bagaimana dengan Justin yang membuat kehidupanku berubah total setelah dia membawa aku dan Max ke tempat yang indah dan mempertemukanku dengan Selena?

Meskipun sebenarnya Justin hanya perantara saja sementara Nathan-lah yang berjasa dalam pertemuanku dengan Selena. Sampai sekarang aku masih penasaran kenapa dia bisa tahu dimana Selena berada saat itu.

Saat aku sedang meratapi nasib malangku sendirian diruangan gelap itu, tiba-terdengar suara pintu terbuka. aku sama sekali tidak melirik kearah pintu itu. Tak ada harapan lagi bagiku untuk melarikan diri dengan keadaan tangan dan kaki diikat dengan sangat erat hingga tangan dan kakiku terasa ingin putus.

“Hey bitch. Lo di panggil sama boss. Ayo ikut sama gue.” Aku masih saja terdiam seperti manusia tanpa jiwa, menatap kosong mengintimidasi jiwa mereka. biarlah seandainya mereka akan menyiksaku lagi hingga aku mati, aku sudah tak peduli.

KIMBERLY 2: The Scarlet ReturnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang