Auri: One Fine Night

120 9 0
                                    


Hi gengs, Chlorine here.

TOLONG VOTE HEHE
Ini chapter terakhir untuk pertemuan awal basa-basi, and I don't wanna waste much time di sini makanya mungkin agak ga seru.
Setelah ini di chapter 3 bakal ada backstory Karlone Grynx yang superrr interestingggg so please please please don't miss ittttttttt
karena chapter ini bakal masuk akal banget kalo kalian baca yang backstorynya.
Ditambah nanti kalian juga bisa judge apakah doi termasuk kategori villain atau bukan.
Setelah backstory, baru mulai ke cerita yang berat. Ini baru appetizer, belum main course ;) .

Pls vote kthxbye mwah

--------------------------------------------------------------

Aku berjalan menuju meja kasino dan mendapati Vance dan Leina di sana. Aku menarik kursi tepat di sebelah kiri Karlone. Baru sedetik aku melekatkan bokongku ke kursi, aku sudah mulai menyesalinya. Aku benar-benar tidak bisa fokus. Ingin sekali rasanya aku menoleh ke kanan dan mengajaknya kawin lari.
Oke, mungkin bukan kawin lari karena aku enggan berkomitmen. Terakhir kali aku menaruh sepenuh hati, aku hanya mendapatkan separuhnya kembali.

Permainan dimulai.
Vance dan Leina dengan mudah menghitung probabilitas kartu di luar kepala.

"Hei, Tuan. Kita sama-sama memiliki satu kartu. Kita buka sekarang saja," seru Leina.

"Wah, aku pasang taruhan 15.000 dolar. Pasti temanku yang menang," tambah Vance.

Aku tertawa kecil. Memang tidak sia-sia usaha mereka belajar matematika minat enam tahun silam.

Lensa digitalku meretas sistem keamanan koper berisi tunai yang terletak persis di sisi kiri kursinya. Dengan melacak sidik-sidik jari yang tertoreh pada kopernya, aku berhasil mengidentifikasi jenis-jenis transaksi ilegal yang diperbuatnya untuk mendapatkan uang sebanyak itu. Ia bahkan berasosiasi dengan penjualan organ manusia di pasar gelap.

Lensaku mengambil gambar bukti-bukti kriminalnya sebagai penyokong di meja hijau. Tanpa pikir panjang, aku menyambar kopernya dan menyandarkan pistolku ke dahinya.

"Menyerah saja. Lebih baik daripada peluru yang merasuki sel-sel di otakmu, bukan?" ujarku.

"Baik, aku menyerah," sahutnya dengan santai. Ia mengangkat kedua tangannya.

"Heran, semudah inikah menangkap manusia paling ditakuti di Vargald? Aneh sekali," gumamku.

"Satu, dua, tiga."

"Oh, shit."

Bum!

Suara ledakan yang memekakkan telinga adalah hal terakhir yang kudengar sebelum aku mendapati diriku terhempas jauh ke sudut ruangan.

Dari kejauhan, aku melihatnya berjalan dengan elok melintasi lautan api seperti iblis berparas malaikat. Ia menghabisi setiap orang yang masih bernyawa tanpa ampun. Perlahan langkah kakinya terdengar semakin jelas.

"Wayne, cari seluruh data tentang Karlone, kirimkan kepadaku sekarang!" seruku kepada Wayne, atasanku.

Hanya dalam dua milisekon, seluruh datanya muncul di hadapanku. Beruntung lensa digitalku tidak rusak.

Aku menelusuri datanya dan menemukan suatu nama yang familiar di telingaku, Pierce Rivers. Satu-satunya alasanku terjun ke dalam pekerjaan berbahaya ini.

Ah, bingo.

Ia berhenti di depanku, lalu mencengkram leherku dengan satu tangan. Ia lalu menghempas tubuhku ke tanah dan menembakkan pelurunya ke arahku. Dengan sigap, aku mengaktifkan perisai dari arlojiku sebelum pelurunya menembus kulit sawo matangku yang halus, lembut dan indah ini.

"Hei, aku ingin bicara," seruku sembari mengangkat kedua tanganku.

Tanpa basa-basi, ia langsung mengayunkan kerambitnya tepat ke leherku. Bodohnya, aku berusaha menahan kerambitnya dengan telapak tangan kosong.

"Sial! Perih sekali," umpatku.

Aku belum menyerah, begitupun juga dengannya. Ia menekan kerambitnya lebih dalam lagi.

"Satu, uang tunai yang berada di koper itu uang palsu. Dua, trikmu untuk menjebakku sangat klise. Tiga, aku kecewa. Aku kira kau lebih pandai dari itu," ujarnya.

"Maaf, Tuan Manis. Kalau kau mau, aku ingin mengajakmu kencan malam ini. Aku hanya ingin bicara, sungguh. Berhentilah melawan."
Aku menancapkan alat peledak pada kerambitnya, lalu mengaktifkan perisaiku. Kerambit itu meledak seketika, menyisakan asap tebal yang menari di sekelilingku.
Entah bagaimana, Karlone menghilang.

Gedung kasino itu mulai bergetar.
"Auri, cepat keluar! Gedungnya akan runtuh," perintah Wayne dengan nada tinggi.
Aku melihat pesawat autopilot yang sudah menungguku sedari tadi. Niatku untuk kabur terurungkan saat nama Karlone terlintas di benakku. Aku langsung berbalik dan mencarinya ke setiap sudut bangunan yang hampir runtuh itu. Tiba-tiba, aku merasakan tegangan listrik tinggi menyambar tubuhku.

"Wow. I would listen to him if I were you," ucapnya.

"Dengar, Karlone, akuー"

"Aku tidak punya waktu untuk basa-basimu."

"Aku bisa membantumu membunuh Pierce Rivers!" teriakku.

Matanya terbelalak, dan untuk pertama kalinya aku melihat suatu ekspresi yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya. Ia lalu mendekatkan wajahnya. Terlalu dekat sehingga aku bisa merasakan nafasnya menyentuh kulit wajahku.

"Aku tidak bodoh," tukasnya.

"Rivers telah membunuh satu-satunya saudaraku. Aku tahu ia pernah menodai masa lalumu juga. Aku hanya ingin balas dendam. Sungguh. Setelah itu, kau boleh membunuhku. Jual organku atau apalah itu maumu."

Kedua bola matanya menatap tajam mataku.
Aku ingin mengalihkan pandanganku, namun matanya seolah-olah menghanyutkanku untuk menatap lebih dalam lagi.

"Dengar, kalau aku berniat membunuhnya, aku akan membunuhnya sendiri. Aku sudah tidak ingat apalagi peduli dengan masa laluku. Lagipula, Rivers tidak pernah meninggalkan jejak. Mencarinya sama saja dengan bunuh diri," jelasnya.

"Oleh karena itu aku butuh bantuanmu, Karlone. Ini win-win, kan? Kita sama-sama membenci Rivers, apalagi--"

"Aku tidak tertarik. Gedungnya akan rubuh dalam lima detik. See you in hell."

Ia tersenyum kecil. Hanya sekejap, lalu berbalik dan menghilang ditelan cahaya digital berwarna kebiruan. Ah, persetan dengan teknologinya. Bisakah kita bicarakan tentang senyumnya tadi? Satu detik berharga yang sukses membuat darah yang mengalir di bibirku terasa seperti gula jawa. Aku heran, apa maksud Sang Pencipta menciptakan mahluk begitu elok nan manis dengan hati terlampau bengis?

Keparat. Aku lupa gedungnya akan rubuh.

Aku berlari sekuat tenaga dengan pilar-pilar yang sudah berjatuhan di belakangku. Aku mengaktifkan parasutku dan langsung terjun bebas. Pesawat autopilot Wayne menangkapku di saat yang tepat dan membawaku terbang kembali ke markas.

Di perjalanan, pikiranku hanya dibanjiri oleh perkataannya. Karlone benar, Rivers bukan tandinganku seorang. Namun aku yakin betul aku bisa melangkahi mayat Rivers dengannya.

Ah, aku harus menemuinya esok.

***

Karlone GrynxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang