[4] September

10.3K 414 2
                                    

Gue ingat sekitar enam bulan yang lalu saat gue dan sahabat gue sedang lunch bareng di salah satu restoran dekat kantor kami. Hari itu kami sedang sibuk-sibuknya menyiapkan dokumen yang nantinya akan kami presentasikan pada klien.

Ditengah-tengah acara makan siang kami, ponsel gue berdering menampilkan namanya di layar ponsel yang berkedip-kedip. Gue hafal banget pasti kalau gue angkat gue bakal kena omelannya. No thanks, hari ini otak gue sudah cukup mumet dengan pekerjaan kantor dan gue nggak mau tambah mumet karena mendengar omelannya yang nggak jelas itu. Akhirnya gue lebih memilih untuk mengabaikan panggilan tersebut dan melanjutkan acara makan gue yang sempat tertunda.

"Nggak diangkat, bro?"

"Nanti aja lah, gampang. Capek gue dikit-dikit ngomel."

"Pacar lo?"

"Bukan."

"Dia?"

Gue mengangguk.

Sahabat gue tiba-tiba tertawa dan sukses menarik perhatian gue, "Kenapa, bro?"

Dia berdeham, "Sorry sorry. Terus kenapa nggak lo angkat telfonnya?"

"Capek gue, seharian otak gue udah panas ngurusin kerjaan. Kalau gue angkat juga gue yakin banget cuma bakal kena omelan dia karna gue seharian menghilang tanpa kabar. Pusing gue."

"Tinggalin aja lah yang macem begitu, masih banyak yang lain."

Gue otomatis melotot, "Lo gila? Nyari di mana lagi perempuan yang sabar banget sama tingkah gue ini? Bahkan gue nggak yakin pacar gue bisa tahan kalau udah tahu semuanya."

"Nah! You got the point, don't you?"

"Maksud lo?"

"Dia satu-satunya perempuan yang paling tahan banting sama semua sifat buruk lo. Dia berusaha untuk sabar, ngertiin lo, dampingin lo. Nah lo sekarang baru di terror karena nggak ngabarin aja sudah milih buat sembunyi..."

Nafsu makan gue tiba-tiba hilang entah kemana.

"...Sorry bro, gue ngomong begini karena gue kenal kalian berdua sudah dari jaman putih abu-abu. Kalau boleh, gue bahkan lebih setuju kalau dia ninggalin lo. She deserves better than this, you know it, bro."

Ponsel gue berdering lagi dan nama dia kembali muncul di layar.

Sahabat gue menunjuk layar ponsel gue, "Dia nyariin lo karena peduli dan dia marah karena khawatir. Masih beruntung dia masih mau repot-repot ngurusin lo begini bahkan setelah apa yang sudah lo lakuin ke dia. You lucky bastard."

Gue tertawa, tapi nada yang keluar dari bibir gue lebih terdengar seperti ringisan.

Dan sekarang enam bulan sejak menghilangnya dia, gue bolak-balik memandangi layar ponsel berharap namanya muncul di sana. Gue masih belum tahu sebenarnya dia ada di mana sekarang.

Mungkin ini karma karena gue sudah menyakiti dia sedemikian dalam.

Nggak tahu gue juga kenapa tiba-tiba jadi teringat percakapan gue dengan sahabat gue itu.

Iseng, gue coba telfon dia lagi. Entah ini sudah percobaan ke berapa, gue nggak hitung. Gue yakin kali ini juga nggak bakal di ang--

"Hallo?"

Gue loncat. Iya loncat. Isi gelas minuman di tangan gue yang satunya bahkan sudah tumpah nggak karuan ke lantai.

"Ha-Hallo?"

Sial. Kenapa suara gue gugup banget gini?

Dia tertawa. Gila, gue kangen ketawanya.

"Ini beneran kamu?" Gue berusaha memastikan.

"Iya lah. Emang mau siapa lagi?" Suaranya masih sama ramahnya seperti yang gue ingat.

"Kamu di mana? Aku mau ketemu."

"Aku sudah di Jakarta, di apartemen."

Gue langsung menyambar kunci mobil yang tergeletak di meja kerja gue dan bergegas meninggalkan ruangan menuju parkiran mobil, "Tunggu aku, jangan kemana-mana, aku kesana sekarang."

Now or never. Gue harus memperbaiki apapun itu yang masih bisa gue perbaiki. Gue nggak mau lagi bersikap tolol dan melewatkan kesempatan yang ada untuk yang kesekian kalinya.

Gue menyetir dengan cukup brutal. Beruntung ini sudah lewat tengah malam dan jalanan Jakarta sudah sedikit lebih senggang. Gue memarkirkan mobil asal-asalan, nggak peduli kalo besok bakal tergores atau penyok. Ada yang lebih penting dari mobil gue!

Di dalam lift menuju lantai 26, lantai di mana unit apartemennya berada, gue nggak bisa tenang. Sempat terlintas di benak gue kalau suara dia yang gue dengar tadi itu cuma halusinasi gue saja. Dan sempat terlintas juga di benak gue ketika nanti gue sampai di unit apartemennya dan mengetuk pintunya hasilnya akan sama saja seperti beberapa bulan terakhir ini, kosong, tidak ada penghuninya.

Gue berjalan dengan tergesa-gesa tapi begitu sesampainya gue di pintu dengan nomor yang sangat gue hafal ini, tiba-tiba ketakutan gue kembali. Tangan gue melayang di udara, antara ingin mengetuk atau langsung saja gue buka secara paksa?

Dengan sisa kewarasan yang untungnya masih ada, gue akhirnya memilih untuk mengetuk pintu di hadapan gue. Satu menit, dua menit, lima menit, sepuluh menit nggak ada jawaban. Ketukan kini berubah menjadi gedoran, dan tepat sebelum gue meneriakkan namanya, pintu terbuka dari dalam.

...to be continue


Follow • Vote • Comment

Thank You💕

BETWEEN US [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang