[6] Desember

10.1K 409 11
                                    

"Sorry Hon," batin gue terus berbisik.

Nggak perlu dia berteriak marah-marah meluapkan seluruh perasaannya, dia hanya duduk diam seperti tadi saja gue sudah tahu, dia kecewa.

Dia tersenyum, iya. Dia tetap melayani gue--menyiapkan sepatu gue, membuatkan kopi seperti biasa, memang. Dia nggak bentak gue sama sekali, bahkan dia tetap balas pelukan gue sama hangatnya seperti biasa. Tapi tatapan matanya nggak pernah bisa bohong, ada kesedihan di situ yang dia coba sembunyikan.

Gue bingung harus bagaimana. Gue sudah coba berbagai cara untuk memperbaiki hubungan kami tapi satupun nggak ada yang berhasil. Kami seperti stuck di titik ini, di kekacauan ini.

Gue cuma takut dia akhirnya memilih untuk pergi lagi dan akhirnya nggak kembali.

Shit. Shit. Shit.

Gue menekan pedal gas sedalam-dalamnya. Gue harus ke apartemen dia sekarang, nggak peduli ini sudah pukul dua dini hari, gue harus bertemu dia.

Ketika lift berhenti di lantai dua puluh enam dan pintu lift perlahan mulai terbuka, gue bergegas menuju unit apartemennya. Tepat pada saat tangan gue ingin mengetuk pintu di hadapan gue ini, pintu tersebut sudah terbuka dengan sendirinya.

Gue merasa seperti deja vu. Tepat tiga bulan yang lalu gue melakukan hal yang hampir sama seperti malam ini. Bedanya, malam itu kami habiskan dengan bercinta sampai pagi. Kalau malam ini, gue nggak tahu akan seperti apa nasib gue.

Gue melirik kedua buah koper yang terletak di samping kanan dan kiri tubuhnya, "mau kemana kamu?"

"Pergi," jawabnya santai. Kelewat santai menurut gue.

"Pergi?"

Dia mengangguk.

"Ninggalin aku?"

Dia mengangguk lagi.

"Lagi?"

Kali ini dia diam tidak merespon pertanyaan gue.

"Sedikit lagi Hon, sedikit lagi semuanya selesai. Terus kamu mau pergi, lagi?..."

Gue melangkah memasuki apartemennya, dia berjalan mundur menjaga jarak.

"...Aku tahu aku banyak salah ke kamu, aku brengsek, aku sering bikin kamu nangis, tapi tolong jangan pergi."

"Aku lelah! Lelah menghadapi kamu, lelah menghadapi diri aku sendiri! Kamu nggak ngerti gimana rasanya jadi aku, kamu nggak pernah mau ngerti!"

Gue hanya bisa mengangguk menyetujui.

Gue memang nggak mengerti bagaimana rasanya jadi dia. Yang gue pikirkan selama ini hanyalah bagaimana caranya agar gue tetap bisa bersenang-senang tanpa dia pergi meninggalkan gue. Hampir setiap hari gue berkencan dengan wanita yang berbeda, tapi hanya dia yang selalu menjadi tujuan gue pulang. Dia rumah gue. Hanya dia yang setia menunggu gue pulang setiap malam.

"Aku pikir untuk kali ini, kamu kembali dan nggak bakal ada lagi wanita lain di hubungan kita. Aku pikir semuanya akan kembali seperti semula. Aku sudah menahan diri untuk nggak berharap apapun lagi dari kamu, dari hubungan ini..."

Sumpah. Satu-satunya hal yang ingin gue lakukan adalah menghapus air mata itu dan memeluknya sampai kembali tenang.

"...Tapi nyatanya aku gagal. Aku tetap merasakan sakit di sini," dia menunjuk tempat di mana jantungnya berada.

Baby, I'm sorry. I'm so sorry.

Tapi gue sepengecut itu untuk mengucapkan suara yang sedari tadi terus berteriak di dalam benak gue.

"We better end this," ucapnya lirih.

"Please.. Please don't say that."

"We are done. You know where the door is, silahkan keluar."

Gue mematung memandangi dia yang mulai membalikkan badan dan melangkah menuju kamarnya diikuti suara 'klik' tanda kalau pintu tersebut kini terkunci.

What now?

Kaki gue menolak untuk melangkah keluar ketika gue mendengar suara benda jatuh dan pecah dari dalam kamarnya diikuti suara teriakannya yang memilukan. Untuk pertama kalinya gue melihat--ralat, mendengar bagaimana dia meluapkan emosinya. Selama ini sekalinya dia menangis pun, dia akan menangis dalam diam. Gue juga tahu dia sering menangis sembunyi-sembunyi di belakang gue, dan bodohnya gue nggak tahu harus bersikap seperti apa dan justru mengikuti permainannya dengan berpura-pura tidak tahu.

Lama gue menunggu sampai keadaan kamarnya kembali tenang. Entah, 1 jam? 3 jam? 5 jam? Gue nggak hitung. Setelah merasa sudah cukup memungkinkan untuk menghampirinya, gue mengambil cadangan kunci kamarnya yang selalu gue simpan di dompet, gue berusaha membuka kunci dengan sangat perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apapun karna gue pikir dia mungkin sudah terlelap setelah lelah melampiaskan emosinya tadi.

Tapi gue salah.

Apa yang gue lihat saat ini mampu membuat gue lupa bagaimana caranya bernafas untuk beberapa saat.

Setelah mendapatkan kesadaran gue kembali, gue langsung berlari menghampiri dia yang sudah tergeletak di lantai dengan darah menggenang di sekitar tubuhnya.

Shit.

Gue meraba leher dan pergelangan tangannya yang nggak terluka untuk mendapatkan detak nadinya. Gue menghembuskan nafas lega setelah merasa nadinya masih berdetak walaupun sudah mulai melemah. Segera gue mencari kain apapun yang ada di sekitar gue untuk menghentikan pendarahannya, gue ambil asal pakaiannya dari lemari, gue robek dan gue lilit di bagian yang terluka.

Maaf Hon kalau yang aku robek mungkin pakaian kesukaan kamu, nyawa kamu lebih penting. Kamu mau marah tujuh hari tujuh malam setelah itu aku sama sekali nggak akan keberatan.

Setelah selesai, buru-buru gue bopong tubuhnya dan gue agak terkejut merasakan tubuhnya yang menjadi jauh lebih ringan dibanding sebelumnya. Gue baru sadar ketika di dalam lift menuju lobby, gue memandangi wajahnya yang terlihat lebih tirus. Tubuhnya terlihat begitu rapuh dalam gendongan gue.

Oh shit, what have I done?

"Sayang, tahan ya, jangan pergi," gue letakkan tubuhnya di bangku penumpang dengan hati-hati dan gue pasangkan sabuk pengaman. Gue kecup keningnya sekilas sebelum gue berlari ke bangku kemudi dan menjalankan mobil menuju rumah sakit terdekat.

Sepanjang perjalanan, gue tidak melepaskan genggaman tangan kami walau hanya sedetik pun. Tangannya dingin. Gue takut.

"Baby, can you hear me? Please don't go. Kamu mau tinggalin aku? Nggak apa-apa, aku terima asal kamu bahagia. Tapi nggak dengan cara ini Hon ninggalinnya, please."

Tanpa sadar pipi gue sudah basah dengan air mata. Gue terisak. Nggak pernah seumur hidup gue merasakan ketakutan sebesar ini. Mungkin kalau dalam keadaan normal dia akan menertawai gue karena gue menangis seperti anak kecil.

Persetan, aku justru berharap saat ini bisa mendengar kamu menertawai aku.

Sesampainya di rumah sakit, gue memarkir mobil gue dengan asal, berteriak seperti orang gila meminta pertolongan pada satpam, suster, siapapun manusia yang berada di sana untuk segera menolong dia.

Para tenaga medis datang, memindahkan tubuhnya yang sudah semakin lemah ke kasur dorong, dokter dan para suster bergerak sigap memberikan pertolongan pertama. Gue nggak ngerti mereka ngapain, yang terpenting dia selamat.

Keadaan Unit Gawat Darurat hari itu sangat kacau, orang-orang berlarian, berteriak, tapi pikiran gue kosong, gue nggak bisa mikir lagi.

Tidak lama setelahnya dokter menghampiri gue, dia tersenyum menenangkan, tetapi tatapan matanya sudah mengatakan segalanya.

Dan benar, dunia gue resmi hancur oleh satu kalimat yang diucapkan dokter itu.

"Maaf, kami sudah berusaha semampu kami tapi beliau sudah meninggal sejak dalam perjalanan menuju rumah sakit."

...The End...


Follow • Vote • Comment

Thank You💕

BETWEEN US [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang