[5] Desember

9.5K 381 6
                                        

Aku percaya pada sesuatu yang mungkin menurut orang lain adalah suatu hal yang mustahil.

Tapi siapa peduli? Toh ini hidupku, aku yang menjalani, bukan mereka.

Aku heran pada mereka yang rela membuang waktunya yang berharga hanya untuk mengurusi hidup orang lain. Apa di dunia ini tidak ada hal yang lebih penting yang bisa mereka lakukan selain ikut campur pada urusan yang bukan urusannya?

"Mikirin apa sih kamu?"

Aku terlonjak kaget. "Eh? Nggak, nggak mikirin apa-apa."

"Itu, rotinya gosong."

Buru-buru aku menoleh ke penggorengan di depanku, dan benar saja, roti di dalam penggorengan tersebut sudah berubah warna menjadi hitam dan sangat tidak layak untuk dijadikan menu sarapan kami pagi ini. Bagus! Hanya ini makanan yang tersisa di apartemenku dan kini sudah berubah menjadi sampah.

Dengan kesal aku mematikan kompor dan berbalik menatap dia yang kini sedang menatapku balik sambil berusaha menahan tawa walaupun sepertinya gagal, "Kita sarapan di luar. Ada cafe baru di seberang apartemen."

Dia menarik tanganku yang baru saja ingin melangkah menuju pintu, "Nggak sempat, aku sudah harus mandi dan siap-siap sekarang."

Aku melirik jam dinding, masih jam sembilan pagi di hari sabtu, "Mau ke kantor? Ada lembur lagi?"

"Pacarku tadi telfon, dia me--"

"Stop," aku memotong ucapannya, "I get it. Your girlfriend needs you, okay."

"Bukan sepert--"

"It's none of my business," aku menutup kedua telingaku dengan tangan dan melangkah pergi meninggalkannya di dapur.

Tidak ada pembicaraan lagi di antara kami setelahnya. Dia terlihat sangat terburu-buru, mandi kilat, memilih pakaian secara asal. Aku perhatikan ponselnya tidak pernah lepas dari genggaman, sesekali dia terlihat menjawab pesan singkat yang masuk.

Wow, baru kali ini aku melihatnya begitu bersemangat ketika kekasihnya meminta untuk bertemu. Apa hubungan mereka semakin membaik? Apa aku lagi-lagi akan menjadi pihak yang dilupakan dan ditinggalkan seperti dulu?

Apa? Kalian pikir setelah berbulan-bulan aku menghilang dari hidupnya, lalu ketika aku memutuskan untuk kembali, semuanya akan kembali seperti awal saat pertama kali kami berhubungan?

Jangan mimpi.

Aku saja tidak berani berharap seperti itu.

Nyatanya, tidak ada yang berubah. Sedikit pun.

Semakin lama ini semakin menyesakkan. Apalagi harus melihatnya begitu bersemangat pagi ini setelah kekasihnya menghubunginya dan meminta bertemu.

Setelah berbicara pada seseorang di telfon, dia bergegas mengambil kunci mobil yang tergeletak di meja nakas samping ranjang kami. Seperti biasa, dia akan menghampiriku dan mengecup dahiku lalu bergegas pergi.

Oh, ada satu hal yang terlupakan olehnya.

Biasanya setelah mengecup keningku, dia akan membisikkan kalimat "I love you" atau "Wait for me, hon" atau kalimat tidak penting apapun yang terlintas di benaknya saat itu.

Tapi kali ini tidak.

Aku tidak tahu apakah dia benar-benar lupa atau dia memang sengaja melupakan satu ritual kecil tidak penting itu?

Tidak penting untuknya, mungkin. Tapi sangat berarti untukku.

Kenapa rasanya sesak, ya?

Aku tahu ketika tiga bulan yang lalu akhirnya aku memutuskan untuk kembali, aku harus siap dengan segala konsekuensinya.

Aku sudah terbiasa tersakiti. Aku sudah terbiasa dikesampingkan. Aku sudah terbiasa memendam dan menghadapi segalanya sendiri.

Lalu, apa lagi yang harus aku takutkan?

Tanpa sadar pisau yang saat ini sedang aku gunakan untuk mengupas apel menggores tanganku. Darah segar mengalir deras karena lukanya yang cukup dalam.

Air mataku jatuh membasahi pipi, perlahan tapi pasti aku mulai terisak sambil tanganku yang tidak terluka berusaha mencari tissue atau kain atau apapun yang bisa digunakan untuk menekan luka di tanganku agar darahnya berhenti.

Bukan, aku bukan menangis karena luka ini. Jujur, sakit yang ditimbulkan dari luka gores ini masih tidak seberapa dibandingkan sakit yang aku pendam selama ini karena ulahnya.

You know what's the worst feeling in the world?

Merasa dilupakan, tidak diinginkan, merasa seperti kamu tidak cukup baik dan tidak pantas untuk berada di sisinya.

He means the world to me, he is my world. I could do anything for him, even if it hurts me.

Terkadang aku berfikir lebih baik aku menyerah saja. Aku tidak cukup kuat untuk menghadapi suara-suara di dalam kepalaku. Aku ingin bercerita padanya, bercerita tentang apa yang aku rasakan, apa yang aku takutkan, apa yang membuatku sedih. Tapi aku takut perasaanku ini hanya akan menjadi penganggu untuknya.

Believe me, I've tried so hard to keep the monster in my head be calm and quiet.

And here I am, sendirian di dalam apartemen ini. Berdiri di balkon memandangi jalan raya di bawah sana yang sesak akan kendaraan dan para pejalan kaki yang terlihat bagai semut dari atas sini.

Bagaimana kalau akhirnya aku memutuskan untuk melompat saja dan pergi dari dunia ini? Apa dia akan sedih? Apa dia akan menangis di pemakamanku?

Aku reflek mundur menjauhi pagar pembatas balkon ketika tersadar oleh pikiranku sendiri.

Betapa beruntungnya mereka yang bisa mendapatkan cinta yang sama besarnya seperti cintanya pada orang tersebut.

Segalanya saling terbalaskan dan seimbang.

Ah, bicara apa aku? Sepertinya lebih baik aku berendam air hangat dan segera mengobati luka di tanganku ini sebelum terkena infeksi.

...to be continue


Follow • Vote • Comment

Thank You💕

BETWEEN US [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang