Irgian

15 2 2
                                    

"Yaampun Fadya... Kenapa lo malah diem aja?"

Akhirnya Fadya bersuara, "Lo pernah kenal gue emangnya?"

"Yaa gak yakin juga sih lo tau gue apa enggak. Tapi gue jelas-jelas mengenal lo Fadya. Siapa sih yang ga kenal lo waktu SD dulu? Lo itu genius Fad! Lo kenapa masuk sini?"

Hancur sudah harapan Fadya. Gian tahu dengan pasti bagaimana pintarnya Fadya sewaktu SD. Juga pertanyaan Gian yang banyak mengganggu otak Fadya. Fadya menggerutu, kenapa harus ada yang mengenalnya?

"Sssst... Lo jangan heboh gitu. Gue ga inget lo siapa dan kenapa lo bisa tau gue." Fadya pergi meninggalkan Gian. Khawatir Gian akan lebih heboh bila terus diladeni.

"Fadya! Fadya!" Gian mengejar Fadya, masih tidak percaya bisa satu kelas dengan si Genius itu. Apalagi di SMK Pertanian ini yang notabenenya Gian tahu tidak mungkin murid sepintar Fadya menolak masuk SMA 1 Angkasa. Sekolah favorit di Angkasa. Terlebih lagi Gian tahu Fadya lulusan SMP 1 Angkasa. SMP favorit juga di Angkasa.

"Fadya! Lo mau kemana?" Gian terus berteriak mengejar Fadya. Arah langkah Fadya pastinya menuju jalan bukit belakang sekolah. Mudah ditebak.

Tiba-tiba Fadya berhenti. Ia kelelahan dengan jalan menanjak itu. Gian mendekat dan memegang tangan Fadya agar tidak lari lagi. Fadya berjalan ke pinggir, mencari batu besar yang bisa dijadikan tempatnya duduk.

"Gue gak tau lo siapa dan gue rasa gue gak pernah kenal sama lo." ucap Fadya memecah hening. Gian melepas pegangan tangan Fadya karena yakin dia takkan kemana-mana lagi. Lalu duduk dibatu samping Fadya yang agak lebih kecil.

"Gak ada yang gak kenal lo waktu dulu Fad. Lo aneh kalau mikir lo ga dikenal. Segitu dulu sering banget lo dapet penghargaan." Fadya hanya menunduk. Kembali mengutuki diri sendiri yang tidak bisa dimaafkan. Kenapa harus ada orang yang mebuat Fadya mengingat masa kelamnya itu.

"Lo gak kenal gue, Gi. Berhentilah seseolah lo kenal gue." Fadya memohon.

Gian tidak tahu kalau Fadya merasa terganggu dengan ingatan masa lalu itu. Tidak akan ada yang pernah tahu. Fadya tidak pernah menceritakannya pada siapapun.

"Kenalin. Gue Irgian Permana. Lo bisa panggil gue Gian. Kali ini gue mau jadi temen lo." Tidak terduga, Gian mengulurkan tangannya pada Fadya. Merubah suasana menjadi baru. Normal seperti orang-orang yang baru berkenalan untuk pertama kalinya. Karena faktanya mereka memang tidak pernah berteman sebelumnya. Hanya Gian yang mengenal Fadya, dulu.

"Areille" jawab Fadya singkat dan membalas jabat tangan Gian.

"Yang lengkap dong!" Gian tidak melepaskan tangan Fadya. Menunggu gadis itu bersuara lagi. Entah kenapa Gian sangat ingin mengobrol panjang-panjang dengan Fadya.

Fadya mendelik sebal, demi melepas tangannya, Fadya menjawab, "Nama gue Areille Fadya Aulia. Lo bisa panggil gue Rere."

"Fadya" goda Gian.

"Rere. Sekali lagi lo panggil gue Fadya ..."

"Apa? Lo bakal jadi sayang sama gue? Bagus dong" Gian memotong ucapan Fadya. Merasa senang melihat gadis dihadapannya kesal.

"Gue gak mau jadi temen lo!"

**

Sedetik setelah bel pulang berbunyi, tak ada satupun siswa yang berniat tinggal di kelas. Mereka segera merapikan barang bawaan dan langsung bubar. Begitu juga dengan Fadya a.k.a Rere. Fadya berjalan keluar kelas bersama Carina. Mereka akan pulang bersama dengan naik angkot jurusan Angkasa.

Sayangnya angkot itu hanya bisa mengantar Fadya dan Carina sampai pasar Angkasa. Karena arah jurusannya akan berputar lagi. Jadi Fadya dan Carina turun disitu. Dari pasar, Fadya tinggal berjalan lurus dan memasuki komplek rumahnya. Tidak begitu jauh. Sedangkan Carina, ia harus melanjutkan dengan naik angkot jurusan Ngarai untuk sampai ke rumahnya. Itupun perlu dilanjut lagi dengan naik ojek karena angkot hanya melewati jalan raya. Repot memang. Tapi tidak setiap hari Carina seperti itu. Biasanya ia dijemput pacarnya yang berbeda sekolah. Tapi hari ini, pacarnya itu sedang ada kelas sepak bola yang tidak bisa ditinggalkan.

Fadya sudah terbiasa jalan kaki. Dulu, ia selalu jalan kaki untuk pulang dan pergi sekolah. Karena letak sekolahnya yang tidak begitu jauh mengingat rumah Fadya berada di lokasi strategis. Dekat dengan pusat pemerintahan, dekat dengan pusat perbelanjaan, juga dekat dengan sekolah sekolah. Hanya saja kali ini, sekolah baru Fadya berada di daerah Gunung. Tidak mungkin ditempuh dengan berjalan kaki. Jadi untuk berangkat sekolah, Fadya akan berangkat bersama kakaknya, Reggie, yang merupakan siswa kelas 12 di SMK Pertanian. 

"Fadya! Fadya!" Seseorang memanggil sebelum Fadya berbelok masuk ke komplek perumahan.

Fadya menoleh dan dilihatnya Gian sedang berlari ke arah Fadya sambil melambaikan tangan.

"Lo ngikutin gue?" tatapan Fadya menajam.

"Hah? Enggak lah. Gue kebetulan aja liat lo disini."

"Bohong!" tuduh Fadya.

"Serius Fad. Motor gue ada di bengkel tuh." Gian menunjuk ke bengkel seberang jalan.

"Ya terus mau apa lo panggil gue?"

"Ya pengen aja. Emang gak boleh ya kita menyapa teman?"

"Gue kan bukan temen lo" Fadya balik badan, hendak melanjutkan perjalanan pulangnya.

"Tunggu elah. Fad! Fadya!" Gian mengikuti Fadya

"Lo maunya apa sih?" suara Fadya meninggi. Kesal dengan Gian yang menghancurkan rencananya untuk menjadi murid biasa. Fadya berpikir, dengan adanya Gian di kelas, akan aneh jika Fadya menjadi murid biasa. Gian pasti akan menghujaninya dengan beribu pertanyaan. Dan itu akan sangat mengganggu Fadya.

"Gue mau ngajak lo jalan." senyum Gian terlihat menyebalkan dimata Fadya.

"Apaan sih lo? Aneh ah. Udah gue mau pulang. Jangan ngikutin!" Fadya kembali berjalan. Tapi Gian juga kembali mengikuti Fadya.

"Yaudah kalo gitu gue anter lo sampai rumah. Biar gue tau harus kemana nanti pas gue butuh lo"

"Lo gak akan butuh gue, Gian" Ada penekanan di setiap kata yang Fadya ucapkan.

"Kalo gitu, lo yang nanti akan butuh gue Fad. Jadi saat lo butuh gue, lo bisa panggil gue ke rumah lo"

"Lo ngaco! Ngapain juga gue butuh lo?"

Gian tertawa, Fadya menoleh heran. Fadya rasa tidak ada yang lucu di ucapannya barusan. Yang ada hanya suara ketusnya yang sengaja ia gunakan agar Gian jera.

"Gue lupa lo genius"

SKAK. Hal yang sangat tidak ingin Fadya dengar dari Gian terucap juga. Fadya jelas tidak bisa menghapus ingatan Gian tentangnya dimasa lalu. Fadya tidak bisa mengganti sejarah atau menghindarinya. Rasanya masa lalu itu menjadi beban bagi Fadya. Satu hal yang terus membuatnya merasa tertekan.

Langit yang tadi pagi cerah, kini mulai menggelap. Suara mobil motor dijalan terdengar bergemuruh di telinga Fadya. Fadya cukup yakin ia tidak sedang berada di gurun. Dia berusaha berpikir ke belakang ... Ke hal terakhir yang ia ingat ...

Fadya meremas jemarinya.

"Lo baik-baik aja Fad?"

Fadya tidak melihat Gian lagi. Ia benar-benar pulang sekarang. Meninggalkan Gian yang belum mengerti dimana letak kesalahannya. Tidak juga Gian mengikuti Fadya. Ia hanya berbalik. Kembali menuju bengkel tempat motornya sedang diperbaiki dan pulang.



***
30 Januari 2019
Jangan lupa tinggalkan jejak♥

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 30, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Seni BerharapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang