"Ghan, eta kan cewek yang tadi kamu gombalin. Geulis pisan atuh," puji Tatang sambil memandang cukup lama.
Pandangan itu buyar, "Jangan liat-liat dong, punya gua ntu. Nahh, gua nemu yang cocok buat lu," ujar Ghani yang diikuti rasa penasaran Tatang.
Tanpa ragu, Ghani menunjuk salah satu wanita di dekat angkringan yang merupakan penjual keliling sate.
Wanita itu menengok ke arah mereka, seketika Ghani langsung beraksi.
"Mpok, sini!" panggil Ghani yang sontak membuat penjual sate itu bergegas ke arah mereka.
"Harganya 10K mas, mau beli berapa?" tanya penjual sate.
"Apa mbak? Bahasanya gaul atuh, 10K! Wekaa, " lawak Tatang.
"Aciee, kagak usah basa basi, pepet tros!" goda Ghani yang membuat Tatang semakin malu.
"Ghan, jangan begitu atuh, saya jadi tengsin," bisik Tatang.
"Mpok kita kagak mau beli, ni anak mau ngobrol katanya, kalo gitu gua balik yak, "
Blushh!! Semburat warna merah muda terlihat jelas di pipi penjual sate itu.
"Eh, Ghan! Tungguin atuh. Aduh, buk. Punten. Saya balik dulu atuh, assalamualaikum. "
Dengan cepat Tatang menyusul Ghani yang sudah jauh.
***
Koridor sekolah.
Duduklah disana termenung sendirian merenungi sesuatu. Siapa lagi kalau bukan Agin.
Dia terus memikirkan perempuan tadi. Entah kenapa tak bisa berhenti.
Tak lama kemudian, Ghani dan Tatang terlihat berjalan di koridor itu."Ghani, Agin kamana nyak? Dari tadi siang enteu ketingal." ujar Tatang menyingkirkan keheningan koridor.
"Tang, tuh anak juga biasanya begitu. Datang tak diundang pulang tak diantar, " ujar Ghani berusaha menakuti Tatang.
"Hih! Ghani tong kitu atuh. Tatang jadi sieun euy," ujar Tatang.
Pandangan Tatang beralih pada seseorang yang duduk di pinggir koridor. Wajahnya tidak jelas karna posisi orang itu jongkok dan menempelkan kepalanya di dinding koridor.
Tatang berusaha mengedipkan matanya agar pandangan terlihat jelas.
"Ghan, itu itu teh apa... , " ujar Tatang sambil menutup matanya dan menunjuk ke arah sosok itu.
"Apaan sih? Kagak jelas amat nuding begituan," Ghani berusaha mengamati telunjuk Tatang yang menuding sesuatu di koridor.
Tak diduga, Tatang memeluk Ghani.
"Ghan, hayuk atuh jalan. Tatang dah siap.""Hiihh! Apa-apaan sih lo, kurang jelas apa kalo gua ni jantan? Ha! " sontak Ghani menyingkirkan tangan Tatang dari dadanya.
"Hayuk jalan! Kamu teh mau mati disini? " kalau sudah berurusan dengan mistis, Tatang jagonya untuk... Lebay.
"Apaan sih! Orang kagak ada ape-ape.
Lu nya aja yang lebay kagak ketulungan," ujar Ghani."Mimpi apa saya teh semalem, huhu. Kenapa harus saya yang lihat ini mah. Ya Allah lindungi Tatang ya Allah," doa Tatang yang terus mengalir saat melewati koridor itu sambil memalingkan muka agar tidak melihat sesosok tadi. (Kok jadi keinget scene film ya. )
"Kayaknya gua kenal deh orang ntu. Samperin nyok!" yakin Ghani yang langsung merangkul.... angin.
Karena Tatang sudah pergi terbirit- birit setelah matanya sempat bertemu pandangan dengan sesosok misterius tadi.
"Heyy, Tatang! Mau kemane lu?" teriak Ghani sontak membuat Agin [sosok misterius] langsung beranjak dari duduknya.
Dia langsung pergi tanpa sepatah kata pun, bahkan untuk sekadar menyapa saja ia enggan.
Entah karena efek wanita atau memang Agin lagi PMS. Jangan salah paham, maksudnya pria marah sesaat.
"Gin, eh bocah. Buset dah, kagak punya kuping lu ya? Heyy. Gua orang ini, dikira demit ape. Woy Agin!" kejar Ghani setelah melihat pria itu ternyata adalah Agin.
Agin tak menghiraukannya. Ia justru mempercepat langkahnya.
"Ndak usah kejar saya. Saya lagi pengen sendiri!" ujar Agin sambil berhenti.
Otomatis Ghani juga menghentikan langkahnya. Ia terheran-heran setelah mendengar ucapan Agin.
"Maksud lu ape? Kagak salah denger nih gua?" heran Ghani.
"Ndak usah nunggu saya, kalau nanti mau pulang, pulang aja." sinis Agin. Walaupun sangat menusuk di hati. Ia tak ingin sekalipun menoleh ke arah sahabatnya yang selalu ada itu.
Iya, selalu ada karena masih hidup. Wkwk. Bukan. Maksudnya selalu ada di sampingnya kapanpun dan dimanapun.
"Lu kenape sih Gin? Gua ama Tatang salah ape. Ape perlu nih gua nyembah sotang lu?" tanya Ghani, dia sangat bingung dengan sahabatnya ini.
Sifatnya yang agak pendiam dan tertutup membuat sulit dipahami.
"Ok, kite pulang masing-masing. Tapi inget, gua masih ada di sini. Kapanpun lu butuh gua, panggil aja 999," canda Ghani yang sebenarnya tidak tepat.
"Bukan waktu yang pas buat guyon," bahasa campur Agin yang khas membuat Ghani sedikit mengembangkan bibirnya.
"Gin, satu yang ada di hati gua. Agin kenapa?" tanya Ghani. Kali ini dia menggunakan bahasa indonesia untuk mengutarakan perasaannya.
Entah kenapa itu terdengar sangat tulus di telinga Agin. Rasa bersalah sedikit muncul di hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penakluk Asmara
General FictionBukan soal siapa yang menang, tapi siapa yang berkorban untuk kebahagiaan orang tersayang -A. F. 2021