06. Beer

101 10 2
                                    

Aksi berontakku sama sekali tidak berpengaruh sama sekali pada Taeyong.
Sampai kuputuskan untuk menyerah dan membiarkannya semakin erat memeluk tubuhku, tak sadar Aku pun ikut larut dalam dekapannya dengan mengelus pelan belakang punggungnya.

Aku melakukannya masih dengan perasaan kesal, hanya saja, Aku merasakan sebuah kesedihan dibalik pelukan erat yang tengah Taeyong salurkan padaku. Tidak ada salahnya membantu meredakan kesedihan yang tengah orang lain rasakan bukan?

Mengenai hal itu, sebuah tanda tanya kembali bermunculan didalam kepalaku.
Fakta apa yang tengah Taeyong tutupi?

lima menit sudah berlalu namun Taeyong tak kunjung melepaskan dekapannya, membuatku dengan kesal mendorong bahunya saat pelukkannya tak seerat tadi.

"Kau sadar dengan hal yang barusan kau perbuat?"
Ketusku langsung menatap tak ramah pada Taeyong. Aku sendiri pun bingung, darimana datangnya keberanian ini sehingga Aku mampu bertingkah sok berani didepan lelaki bermata tajam ini.

Kulihat Taeyong menarik napas gusar, bingung akan pertanyaanku barusan.

"Lupakan. Anggap saja Aku tidak pernah melakukan apa-apa. Dan satu lagi, jangan berani mengundurkan diri!"
Taeyong berbalik lalu membuka pintu toilet dan melenggang keluar tanpa memperdulikkanku.

Sedangkan Aku, air mataku tumpah. Tubuhku yang bertumpu pada tembok merosot lemah.
Aku menangis sejadi-jadinya dengan wajah yang kutelungkupkan pada kedua kakiku.
Aku merasa menjadi wanita paling menyedihkan disini.

Dengan tidak berperasaannya Taeyong menyuruhku untuk melupakan perlakuan-perlakuan aneh yang secara tiba-tiba ia berikan kepadaku.
Dia pikir Aku jalang? yang dengan seenaknya ia perlakukan layaknya mainan.
Bagaimana pun Aku adalah wanita yang mempunyai perasaan.

Mengeluarkan ponsel Aku menghubungi kekasihku Delano. Kupikir meneleponnya dapat membuatku sedikit tenang.
Namun hampir sepuluh kali Aku memanggilnya, Delano tak kunjung mengangkat panggilanku. Mencoba menghubunginya sekali lagi, Aku bernapas lega saat panggilan berikutnya berhasil diangkat.
Namun suara diseberang sana membuatku terdiam cukup lama. Ini suara perempuan.

"Iya, halo. Siapa ya?"

"Halo... ini siapa?"

"Hal..halo. Ini siapa?"
Aku bergetar, sebuah rasa curiga menghantuiku. Berbagai pikiran negatif bermunculan dalam otakku.
Tak urung, selama ini Delano tak pernah membalas pesan-pesanku atau menghubungiku meski hanya sekedar menanyakan kabar.

"lah, kok malah balik tanya. maaf mbak, Delano lagi man-- eh ini udah selesai. Sayang ini ada cewek nelpon kamu nih, siapa sih?"

Aku tercekat, 'sayang'? Aku paham betul panggilan cinta orang indonesia tersebut. Bahkan Delano sering memanggilku dengan embel-embel cinta tersebut.
Pikiranku buntu, sebuah rasa sakit kian menikam hatiku. Jadi selama ini Aku bertahan pada orang yang salah.

Dengan tangan bergetar Aku langsung mengakhiri panggilan yang masih terhubung tersebut. Setelahnya kumatikan ponselku dan memasukkannya kembali ke dalam saku.
Aku muak dengan Delano, Aku muak dengan Taeyong. Aku muak dengan semuanya.
Dasar manusia tak berperasaan, tak punya hati.

Aku semakin menelungkupkan wajahku diantara kaki. Terisak dalam tangisan, bahkan suaranya begitu meyedihkan.

Hampir satu jam Aku menyendiri di dalam toilet ini sendirian.
Air mataku sudah kering, namun wajah sembabku begitu kentara.
Mencoba tegar, Aku bangkit dan berpegangan pada tembok, membuka pintu toilet Aku keluar dari tempat saksi kesedihanku tersebut.

Your Eyes [Taeyong]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang