10. Memalukan

45 7 1
                                    

Sudah 20 menit lamanya aku terjebak di dalam lift ini bersama Taeyong. Sedari tadi bibirku tak hentinya merapalkan doa agar tidak ada hal buruk yang menakutkan.
Bukan apa-apa. Sedari kecil aku memang takut gelap dan hal-hal yang mengerikan semacamnya.

"Bisa kau berhenti mengoceh?"
Suara Taeyong membuatku mendongakkan kepala. Namun wajahnya tidak bisa kulihat dengan jelas sebab lampu di lift ini sudah sepenuhnya mati.
Bahkan pelukanku kian erat pada tubuh lelaki ini.

"Kenapa mereka lama sekali?" tanyaku pada Taeyong menghiraukan ucapan lelaki itu sebelumnya.

"Apa?"
Meski gelap, aku masih bisa melihat raut wajah Taeyong yang bingung menatapku.

"Mereka," ujarku lirih masih setia mendongak menatap lelaki yang sedang kupeluk.

"Kau pikir lift ini terbuat dari busa yang mudah dibuka dengan dorongan pelan? huh?"

"Bu-bukan begitu maksudku," aku menunduk mendengar ucapan ketus dari Taeyong. Padahal aku hanya bertanya, mengapa dia segalak ini kepadaku.

Ya, Taeyong memang sudah menghubungi managernya tentang dirinya yang terjebak di dalam lift bersamaku. Itupun butuh pembujukkan ekstra kepadaku, sebab aku tidak mau melepaskan pelukannya.
Lalu berakhir dengan ponselku yang digunakan untuk menghubungi sang manager.

"Kau tadi menangis kan?"

"Uh?" aku mendongak sebentar lalu kembali menunduk sebab malu dengan pertanyaan Taeyong barusan.
Dari banyaknya pertanyaan kenapa justru dia menanyakan hal tersebut kepadaku. Apa dia tidak tahu sekarang aku sangat malu sebab ketahuan menangis dipelukannya.

"Iya kan?"

"Kenapa bertanya itu?" aku melemparkan pertanyaan balik padanya.

"Apa susahnya kau menjawab iya atau tidak."

"Tidak!" ucapku yang terdengar seolah tengah membantah tuduhannya. Bodoh memang. Padahal sudah sangat jelas jika Taeyong mengetahuiku menangis tadi.

Kudengar Taeyong tertawa pelan sembari berdecih seolah mengejek.
"Kau pikir aku bodoh? bahkan jelas-jelas kau membuat kemejaku basah dengan air matamu itu."

Aku menggigit bibir malu. Kenapa ia justru menjebakku dengan pertanyaannya itu. Dasar!

"Jika kau sudah tahu lalu kenapa bertanya lagi? Huh?" tanyaku dengan nada berapi-api. Namun yang kudengar justru tawa pelannya kembali. Lelaki ini sungguh membuatku naik darah.

Brak!

Aku dan Taeyong sama-sama menoleh saat pintu lift sudah terbuka. Diluar sudah ada Manager dan tiga orang petugas penanganan darurat. Lalu juga ada Mark dan Sejin eonni. Kenapa mereka seperti rombongan.
Aku masih dengan posisi memeluk Taeyong, detik selanjutnya aku didorong kasar oleh lelaki itu sampai punggungku membentur lift lumayan keras. Aku bahkan terkejut dengan perlakuan Taeyong barusan.

***

"Kau benar baik-baik saja?" tanya Sejin eonni yang masih setia menemaniku di apartemen. Bahkan perempuan itu sampai rela mengantarku pulang lalu membuatkan teh hangat.

"Ne, aku baik-baik saja."

Aku mendengar Sejin eonni mendesah lega dengan jawabanku. Astaga haruskah aku meminta maaf kepadanya karena sudah membuatnya khawatir seperti ini.

"Mianhae. Aku sudah membuat eonni khawatir," ucapku sembari menunduk menatap secangkir teh hangat di tanganku.

"Aniya, jangan berkata seperti itu. Eonni hanya takut terjadi sesuatu kepadamu. Kau sudah kuanggap seperti adikku sendiri," ujar Sejin eonni lalu membawaku kedalam pelukannya. Aku tersenyum senang mendengar kalimatnya barusan. Setidaknya aku seperti mempunyai sosok keluarga di sini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 06, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Your Eyes [Taeyong]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang