Pagi ini matahari masih cerah seperti hari kemarin mengantarkanku pada hangatnya suasana. Mencium punggung tangan ayah dan bunda adalah rutinitasku sebelum berangkat sekolah.
********
"Buruan dong Ca!", aku berteriak kepada Ica, teman sebangkuku yang sedang bercermin merapikan rambutnya.
Ica menghampiri ku dan menyamakan langkah kakinya dengan langkah kaki yang sudah sejak dari tadi berjalan.
Akhirnya kami sampai di kantin yang sebelumnya sudah melewati koridor dan 3 ruang kelas.
"Mau pesen apa?", Ica menoleh ke arahku.
"Mie ayam satu, donat coklat tiga,keripik balado dua, puding apel dua,sama teh obeng satu", jelasku yang kemudian tersenyum.
"Buset dah banyak amat", Ica menatap dengan ekspresi setengah tak percaya.
"Udah buruan gue laper".
"Iya iya", Ica melangkah menuju salah satu warung.
Aku duduk mengamati pemandangan sekeliling sambil menunggu Ica. Pemandangan yang dipenuhi para siswa yang rata-rata membawa muka dengan ekspresi lelah dan lapar. Mereka berlalu lalang sambil berbincang-bincang.
Namun ada seseorang yang membuat mataku terfokus padanya. Cowok yang tiba-tiba saja membuat jantungku berdebar kencang. Leeonil Argaresta, aku masih ingat betul nama lengkapnya itu. Dia terlihat sedang tertawa ria dengan teman-temanya. Aku mengenali salah satu dari temannya itu. Cowok berpostur tubuh tidak terlalu tinggi, berkulit putih dengan potongan rambut menurutku cocok dengan wajahnya.
Namanya Rega, yang menurut teman-teman se-perumahanku adalah cowok idaman. Ya, aku mengenalnya karena dia satu perumahan denganku.
"Muka si abang Leeonil Argaresta yang nyebelin itu kayaknya lagi nyari orang", kataku dalam hati melihat ia menoleh ke kanan dan ke kiri tanpa henti.
Tapi tiba-tiba tatapan matanya berhenti, tak lagi mencari-cari, setelah matanya bertemu dengan mataku. Jantungku berdebar semakin kencang. Tak berhenti sampai di situ, bibirnya mulai tersenyum secara perlahan, memperlihatkan senyuman manis yang mengarah kepadaku. Aku seperti orang yang tak berdaya, tak berekspresi apa-apa, yang hanya diam termangu memperhatikan senyuman manisnya itu."Woii!!!",suara teriak Ica membubarkan suasana dan mengalihkan pandanganku ke arahnya.
"Apaan sih caa.....".
"Abisnya loh dari tadi gue panggil ga denger-denger, liat apaan sih lo?", Ica meletakkan baki di atas mejaku.
"Ga ngeliatin apa-apa", aku mulai mengambil mi dengan garpu.
"Kalo ada pemandangan bagus bagi-bagi dong".
"Pemandangan bagus apa maksudnya?".
"Siapa tau ada cogan gitu", Ica kemudian menyeruput es dawetnya.
"Serah lo dah", ujarku dengan ekspresi datar.Senyuman itu, senyuman manis itu, entah kenapa selalu terngiang di kepalaku. Dan membuatku ikut tersenyum saat mengingatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aleena & Dia
Teen FictionSaat aku kecil, aku berpikir bahwa menjadi remaja itu menyenangkan. Banyak hal yang dapat ku lakukan tanpa ada pengawasan dari mama papa. Haha, ternyata realitanya tidak seindah itu. Ternyata tumbuh menjadi dewasa membutuhkan bahu yang kuat untuk bi...