Bandung, 31 Mei 1999
Pukul 12:24:09 | 28°Csedikit berawan dan sepertinya akan turun hujan
Judul : Ulang Tahun Nenek (Bagian II)
.
.
.Suara mesin mobil yang menderu perlahan mulai mereda dan menghilang. Kendaraan beroda empat ini berhenti di samping rumah yang cukup tua, namun tetap terlihat muda dan segar.
Aku menurunkan kedua tungkaiku yang dilapisi oleh sepotong kain berwarna putih dan berpola bunga mawar. Ah- bicara apa aku ini. Aku menggunakan kaus kaki, kau tahu kan yang berwarna putih dan bergambar bunga mawar di seluruh permukaannya. Ya- intinya aku menggunakan kaus kaki.
Aku berlari dengan kedua kakiku yang pendek ini ke arah pintu rumah Nenek yang besar. Pintu kayu yang ada di depanku sekarang sangatlah rapuh namun tetap kokoh untuk berdiri. Sangat kokoh. Sampai aku merasakan bahwa bulu kudukku di leher berdiri.
Ya- anak umur 5 tahun, tentunya masih percaya terhadap hal-hal mistis yang aneh bukan? Seperti kucing berwarna hitam legam adalah seorang drakula, dan kisah legenda yang menyeramkan lainnya.
Aku hanya berdiri di depan pintu rumah Nenek selama beberapa detik. Tak ada pergerakan yang menunjukkan usaha untuk membuka, bahkan mengetuk pintu.
Nenekku, memang ajaib. Tak heran aku karena dia membuka pintu tua itu sebelum aku mengetuknya. Seperti pembaca pikiran. Ya- aku berpikir bahwa Nenekku bisa membaca pikiran saat umur 5 tahun. Aku juga berpikir bahwa ia dibantu oleh teman-teman perinya pada saat itu. Padahal ia membuka pintunya karena ia melirik keluar dari jendela kamarnya.
Aku seorang gadis yang bodoh, bukan?
Oh- ini belum seberapa. Bahkan ini baru awal dari salah satu kebodohanku.
Saat pintu terbuka, semua aura menyeramkan hilang seketika. Di balik pintu yang ku anggap angker pada saat itu, ternyata ada se-cer-cah harapan yang sangat bersinar terang.
Tentu saja, Nenek adalah sumber harapanku yang sangat terang itu.
Nenek tersenyum ke arahku dan aku menaikkan kepalaku untuk memandangnya. Nenek berusaha untuk membungkukkan tubuhnya dan mengambil posisi yang sejajar denganku.
Ah- senyum Nenek. Sangat, sangat, dan sangatlah memberiku kenyamanan.
Aku iri dengan kakek, dia adalah orang yang paling beruntung karena dapat memenangkan hati Nenek.
W-walaupun aku belum pernah bertemu dengannya.
Otomatis senyuman lebar terlukis di wajahku. Aku, dan nenek, saling bertatapan dan memberikan senyuman terindah yang dapat digambarkan. Aku berlari kecil sehingga mengeluarkan bunyi ketukan sepatu yang bergesekkan dengan lantai kayu dari pohon jati.
Memberikannya pelukan adalah hal pertama yang terlintas di pikiranku. Pelukan yang sangat hangat, bahkan terhangat yang pernah terjadi di dunia ini. S-sepertinya aku harus menghubungi Bapak Rekor Muri Indonesia untuk mengajukan pernyataan bahwa pelukan terhangat pernah terjadi di muka bumi, oleh diriku dengan Nenekku.
Bisakah kalian membayangkan diriku pada saat itu?
Wah. Karena rasanya itu adalah momen terbaik yang pernah terlukis dalam hidupku. Momen yang sangat layak untuk berada di urutan pertama dalam The Most Memorable and Unforgettable Moments milikku.
"Peri kecil kesayangan Nenek sudah kembali!" ujar Nenek.
"Aku rindu sekali. Rindu, rindu, rindu sekali!" jawabku.
"Nenek juga merindukanmu, sayang. Ayah dan Ibumu dimana?"
"Halo, bu. Bagaimana kesehatanmu?" ucap Ibuku kepada Nenek seraya memeluk Nenek yang sudah berdiri beberapa detik sebelumnya.
"Hei, pertanyaan seperti apa itu? Kau tidak lihat tubuhku yang sehat ini? Tentu saja, aku baik- bahkan sangat baik karena kalian ada disini sekarang."
"Halo, bu. Selamat ulang tahun. Aku sayang padamu." sela Ayah yang baru saja menghampiri bersama dengan kakak laki-lakiku di sampingnya.
"Yaampun, kalian ini. Jangan kaku seperti itu. Ayo masuk, makanan sudah menunggu kedatangan kalian."
Aku tetap berada di samping Nenek saat kegiatan bercakap-cakap itu berlangsung. Bahkan hingga Ayah, Ibu, dan Kakakku masuk ke dalam rumah, aku tetap berdiri di samping Nenek yang masih termenung tepat di samping pintu rumah.
Nenek tersenyum entah kepada siapa dan segera menegok ke arahku. Ia menjulurkan tangannya yang penuh dengan lipatan-lipatan kulit penanda bahwa ia sudah tidak muda lagi, namun tetap hangat di dalamnya.
Aku meraih tangan hangat itu dan menggenggamnya dengan erat. Sangat erat.
Aku dan Nenek melangkah masuk ke dalam rumah bersamaan. Dengan genggaman tangan yang terus melekat erat dan senyuman yang terukir di masing-masing wajah.
"Nek, tadi sepanjang perjalanan aku melihat banyak sekali pohon cemara!" kataku dengan riang seraya Nenek duduk di kursi goyang tua berwarna coklat namun tetap kokoh.
"Benarkah? Apakah pohon cemara indah menurutmu?"
"Hm, t-tidak?" jawabku saat memosisikan diri untuk di pangkuan Nenek dan mengikuti ritme kursi goyang yang bergerak secara teratur.
"Mengapa? Padahal pohon cemara adalah pohon kebahagiaan."
"Pohon kebahagiaan? Kenapa begitu, Nek?"
"Karena pohon cemara selalu dinanti-nanti oleh orang banyak, bahkan Nenek sedikit iri dengan pohon cemara."
"Nenek bohong ya?" tanyaku sambil menengok ke arah Nenek.
"Loh? Kok bohong? Nenek berkata sejujurnya, walaupun itu pendapat Nenek saja."
"Kenapa Nenek iri dengan pohon? Padahal pohon tidak bisa bicara."
"Karena pohon cemara bisa jadi salah satu sumber kebahagiaan oleh orang banyak. Toh, contohnya kemarin ini saat bulan Desember. Dimana-mana pohon cemara, kan? Bukan pohon mangga ataupun pohon pisang." ucap Nenek sambil sedikit terkikik.
Aku tertawa karena ucapan Nenek. Dan bodohnya lagi- pikiranku yang terlintas kata 'mangga' menjadikan diriku segera ingin memakannya. Namanya juga anak umur 5 tahun.
"Nenek sedikit iri karena pohon cemara ditemani dengan kebahagiaan, semua orang yang berada di dekatnya pasti saling berpelukan dan tertawa. Walaupun tidak semua sih."
"Nenek jangan jadi pohon cemara. Aku tidak mau memeluk pohon, aku mau memeluk Nenek saja sekarang." jawabku ditemani pergerakan tangan untuk memeluk Nenek entah ke berapa kalinya.
"Baiklah, Nenek tidak akan jadi pohon. Nenek hanya bercanda kok, peri kecil." ucap Nenek dengan memberi kecupan kecil di pucuk kepalaku.
"Ohiya, Nek! Ceritakan sebuah kisah untukku!" sahutku yang sedikit mendadak.
"Cerita apa? Putri Tidur? Atau putri salju?"
"Ah tidak mau, aku sudah bosan dengan cerita itu. Semua teman-temanku di taman kanak-kanak selalu menceritakan tentang itu kepadaku. Aku mau cerita yang lain!"
"Hm- apa ya? Nenek tidak tahu."
"Ceritakan apa saja, Nek! Kisah yang tidak pernah didengar oleh siapapun!"
"Cerita yang tidak pernah didengar? Oh- Nenek tahu."
"Apa itu, Nek?" tanyaku penasaran.
"Kisah cinta yang lebih indah daripada kisah dongeng putri lainnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
my (12-months) diaries
Short Story[ menceritakan berbagai kisah yang telah terjadi dalam hidupku selama ini, anggap saja ini adalah sebuah buku harian seorang gadis yang mempunyai kelebihan khusus yang keenam ]