"Jadi, maksud Nenek itu Si Gadis Penyuka Ulang Tahun bisa bertemu dengan Si Pangeran Tampan setiap ia berulang tahun?"
"Tepat sekali. Cucu Nenek sangat pintar." jawab Nenek sambil mencolek hidung kecilku.
"Dan- Si Gadis Penyuka Ulang Tahun hanya punya waktu selama ketujuh lilin itu menyala?"
"Em... ya seperti itu, kira-kira."
"Lalu, kalau lilinnya mati, pangerannya hilang?"
Nenek melebarkan kedua irisnya sambil menahan tawa.
"Hm- logisnya seperti itu." ucap Nenek sambil terkekeh.
"Lalu, sampai kapan ia bisa bertemu dengannya, Nek?"
"Tentu saja, setiap tahunnya ia bisa bertemu dengan Si Pangeran Tampan. Keren, bukan?"
"Huh, tidak keren menurutku, Nek. Kenapa Si Gadis Penyuka Ulang Tahun tidak meminta saja untuk diberikan beribu-ribu tahun lamanya? Kenapa harus hanya meminta beberapa detik saja, 'kan enak kalau waktunya sampai ribuan tahun." sahutku sambil melipat kedua tangan di depan dadaku.
"Be-betul juga. Ah- Nenek tidak terpikir sampai situ."
Aku hanya menatap Nenek dengan ekspresi kebingungan selama beberapa detik sampai tatapan yang berubah menjadi lamunan itu terusik dengan suara Ibuku yang berasal dari ruang makan.
"Peri kecil, kamu dimana sayang?" tanya Ibu.
"Aku disini, bu!" ujarku seraya turun dari pangkuan Nenek, dan diikuti pergerakan posisi Nenek.
"Ah- sedang bersama Nenek, toh. Ibu penasaran apa yang kalian bicarakan sampai-sampai lupa untuk makan bersama. Coba bisikkan kepada Ibu!" ucap Ibu ditemani dengan seringaian kecil di wajahnya.
Aku berusaha untuk mendekat kepada Ibu, dan menjinjitkan kedua tungkai kecilku agar bisa menyerupai tinggi Ibuku. Melihat hal itu, Ibu segera memosisikan tubuhnya agar menyamai tinggi tubuhku. Aku mendekat ke salah satu alat pendengaran Ibu dengan kedua tangan berada di samping mulutku dan berusaha untuk menutupi segala celah-celah kecil. Agar tidak ketahuan Nenek pikirku, padahal Nenek tentu saja dapat mendengar setiap kata yang kulontarkan.
Lalu, setelah memosisikan diri dalam posisi yang kupikir cukup tepat padahal tidak sama sekali, aku mengeluarkan sepatah kata.
"Ra-ha-si-a." bisikku dengan sedikit tiupan-tiupan kecil di salah satu telinga Ibu.
Aku langsung segera melarikan diri ke belakang Nenek dengan sedikit terkekeh geli. Seperti mencari perlindungan dari amukan monster buas, aku memeluk kaki Nenek dari belakang dan membiarkan salah satu manikku mengintip ke arah Ibu.
"Wah, ternyata peri kecil Ibu sudah pintar meledek ya!" jawab Ibu sambil berdecak pinggang.
Aku hanya bisa tertawa melihat Ibu yang sedikit kesal, namun aku tahu Ibu tidak marah. Dengan keberanian yang luar biasa, aku menjulurkan lidahku ke arah Ibu dengan posisi pertahanan yang sama di belakang Nenek.
"Awas ya!" sahut Ibu dengan segera mendekatiku.
Dan seketika, terjadilah sebuah pengejaran yang mendebarkan. Ah- tidak, aku hanya bercanda. Pada akhirnya, aku dan Ibu bermain kejar-kejaran di ruangan yang sedikit sempit itu. Nenek hanya bisa tersenyum dan kembali memosisikan dirinya di kursi goyangnya sambil menonton aku dan Ibuku.
Setelah aku tertangkap di pelukan Ibu, ia menggendongku di seperti koala yang sudah siap tidur. Padahal aku sama sekali tidak lelah. Ibu menghampiri Nenek dan mengajak Nenek untuk bersama dengan yang lainnya di ruang makan. Nenek segera berdiri dengan bantuan Ibuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
my (12-months) diaries
Historia Corta[ menceritakan berbagai kisah yang telah terjadi dalam hidupku selama ini, anggap saja ini adalah sebuah buku harian seorang gadis yang mempunyai kelebihan khusus yang keenam ]