(6. Pelajaran Pertama)

34.7K 2K 19
                                    

Pelajaran pertama dimulai dengan tata cara berwudhuk, Ahsan menyuruh Nahla memprektekkan bagaimana dia berwudhuk selama ini. Benar-benar parah, dia bahkan tak tau mana anggota wudhuk, gadis itu membasuh apa yang menurutnya dia sukai, bahkan dia mengecek kukunya satu persatu sambil mengomel.

"Aku butuh salon, kasihan mereka."
Ahsan tak mengubris curhatan tak penting Nahla. Dia menyuruh Nahla untuk fokus, karena dari tadi dia terkesan malas-malasan dan tidak sungguh-sungguh.

Ahsan mempraktekkan di depan Nahla bagaimana tata cara berwudhuk yang benar, gadis itu mencoba berulang-ulang sampai betul, sesekali dia dimarahi Ahsan.

Selam proses belajar, Nahla lebih banyak mengeluh dari pada menuruti perintah Ahsan. Bahkan dengan usil Nahla mencipratkan air ke baju suaminya itu.

"Nahla! apa yang kau lakukan? Bajuku jadi basah." Ahsan memandang baju koko putihnya yang basah dengan raut kesal.

Nahla tidak begitu peduli. "Biar kita impas, kau lihat sendiri diriku seperti kucing tercebur."

"Kau yang salah, aku heran berapa nilai Bahasa Indonesiamu dulu, aku menyuruhmu mengusap kepala, tapi kau malah membasuh kepalamu."

"Kau itu guru yang paling menyebalkan, apa kau memperlakukan semua muridmu sepertiku?" Nahla mengusap air dari wajahnya.

"Tentu saja tidak, mereka bukan murid yang suka membangkang sepertimu."

"Kau sangat menyebalkan." Secepat kilat Nahla mengangkat ember yang berisi air, menyiram Ahsan yang sedang mengomel.

"Ha ha ha ha, kau terlihat sangat lucu sekarang." Nahla menunjuk wajah Ahsan yang memerah marah.

"Kau sangat kekanak-kanakan." Ahsan keluar dari kamar mandi, dia tak terima diperlakukan begitu.

Nahla masih memegangi perutnya." Ya ampun, aku benar-benar terhibur."

***
Mereka shalat magrib berjama'ah ke mesjid, Ahsan masih marah pada Nahla, tapi dia tetap membawa istrinya itu ke mesjid walaupun dengan nada sedikit membentak.

Gadis itu sudah menunggu Ahsan di luar mesjid saat selesai menunaikan shalat sunat. Sejenak Ahsan tertegun, pesona Nahla dengan mukena putih membuat dadanya sedikit menghangat, wajah cantik itu disiram sinar bulan bulan purnama. Kalau saja Ahsan tak ingat Nahla adalah wanita yang gila, mungkin dia akan membuka hatinya untuk gadis itu. Baginya kecantikan tidaklah cukup untuk membuatnya jatuh cinta. Ketika di Kairo dulu, banyak gadis yang menaruh hati padanya, tapi tak sedikit pun membuatnya tertarik.

Mereka sampai di rumah beberapa menit kemudian, sepanjang perjalanan Nahla mendapatkan begitu banyak pujian dari ibu-ibu jamaah mesjid karena kecantikan timur tengahnya. Bahkan ada yang meminta Nahla mengusap perut Ibu yang sedang hamil dengan niat agar bayinya juga cantik seperti Nahla.

Sesampai di rumah, baru saja Ahsan membuka pintu rumah, Nahla sudah membuka mukenanya dengan tergesa-gesa.

"Panas," keluhnya. Mukena itu dilemparkan secara asal ke atas ranjang, menyisakan tanktop putih dan hotpants hitam.

Ahsan menatapnya kaget, baru saja dia memuji pesona Nahla yang berbalut mukena sekarang dia kembali menjadi dirinya. Ya tuhan! bahkan hotpants itu tak melakukan fungsinya untuk menutup dengan baik.

Ahsan mengalihkan pandangan, dia risih, sajauh apapun dia menghindarinya, tapi gadis itu tidak sedikit pun mau diajak bekerja sama.

Ahsan tergesa-gesa mengambil sebuah sarung dan menyerahkan pada gadis itu tanpa melihatnya.

"Pakai ini! celanamu terlalu pendek, bahkan itu lebih cocok disebut celana dalam."

"Kau ini kuno sekali, aku nyaman dengan ini."

"Aku yang tidak nyaman, pakai cepat!" Ahsan membentak.

Nahla mendekati Ahsan, meneliti wajah suaminya yang memerah, berbisik di telinga laki-laki itu. "Kenapa?heh? wajahmu merah, apa kau tergoda?" Nahla sengaja mengerjai Ahsan.

Ahsan yang tadi memalingkan wajah, menatap gadis di depannya, jarak wajah yang sangat dekat, bahkan hembusan nafas hangat Nahla terasa membelai pipinya.

"Bisakah kau menghilangkan sifat murahanmu? tapi aku bukan laki-laki seperti itu." Ahsan menegaskan.

Nahla tersenyum, terkesan mengejek.
"Kau pikir aku wanita yang lemah, ya, asal kau tau, aku menguasai beberapa jenis ilmu beladiri."

Benar dugaan Ahsan, mulut itu begitu pintar, begitu judes dan selalu membuatnya jengkel.

Ahsan melihat Nahla takkan pernah mundur, tanpa menatap gadis itu Ahsan berujar

"Pakai lagi mukenamu! kita akan belajar mengaji."

Kemudian pintu kamar ditutup tak sabaran. Nahla hanya menurut, dua hari bersama Ahsan, dia merasa cukup terhibur.

Bidadari Surga yang Ternoda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang