(7. Pelajaran Kedua)

34.7K 2.1K 25
                                    

Tidak begitu sulit mengajari Nahla mengaji, karena dia menguasai Bahasa Arab dengan fasih. Ahsan cuma memantapkan tajwid dan irama Murhatal, semua itu diikuti Nahla dengan baik.

Ahsan kadang heran, sifat Nahla tidak bisa ditebak, dia angin-anginan. Terkadang gadis itu melamun sendiri dengan mulut terkatup rapat, atau malah bersifat sangat menyebalkan. Selain Nahla adalah seorang model, tak ada lagi yang diketahui Ahsan tentangnya.

Sejauh ini pekerjaan rumah masih di kerjaan Ahsan. Nahla memang tak mengerti apa-apa, bahkan memegang sapu harus diajari dulu.

Saat ini, mereka sudah selesai makan malam, duduk santai di ruang tamu, saling mengenal terlihat tidak buruk, tidak bisa menjadi suami istri pada umumnya setidaknya mereka mulai berteman.

"Besok aku mulai mengajar, aku harus menafkahimu, dengan berdiam diri di rumah kita akan kelaparan."

"Bukannya kau di-skors? "

"Bukan di pesantren, aku punya jama'ah pengajian Tafsir di sebuah mesjid."

"Aku punya banyak uang di ATM-ku, kita bisa gunakan itu."

Ahsan tak percaya dengan pendengarannya, ini bukan Nahla, tapi Ahsan melihat kesungguhan dari wajah istrinya itu.

"Tidak perlu, mencari nafkah adalah tugas suami, kau cukup simpan uangmu."

"Ya sudah, aku sudah menawarkan padamu, setidaknya aku tak dicap pelit."

Ahsan melirik Nahla, gadis itu kembali menjadi dirinya sendiri.

"Kau berasal dari sini?" tanya Nahla sambil menguncir kuda rambutnya, menampilkan leher jenjang yang sesaat membuat Ahsan jengah.

"Tidak, aku dari Riau, aku dapat tawaran mengajar disini setelah tamat S2."

"Begitu, ya? apa kalian memang anti dengan wanita yang masuk pesantren dalam keadaan tak berjilbab."

"Bukan anti, tapi itu adalah sebuah peraturan mutlak yang tidak boleh dilanggar di pondok kami, kami pernah kedatangan tamu dari Amerika, kami menyetujui mereka mengadakan penelitian selama wanitanya ikut menutup aurat, walaupun mereka bukan muslim, aku jadi heran, kenapa satpam gerbang bisa membuatmu lolos."

"Kalau aku bilang aku memanjat pagar di samping gedung apa kau percaya?"

"Kalau kau yang melakukannya aku percaya, tak ada yang mustahil bagimu."

"Aku waktu itu sedang kalut, selama perjalanan aku diikuti beberapa orang, untung saja aku cepat berbelok ke jalan aspal kecil menuju arah sini, jadi aku terdampar di pondok pesantrenmu," papar Nahla.

"Apakah kau tak bisa bernegosiasi dengan baik dengan orangtuamu?" Ahsan semakin tertarik dengan hidup gadis itu.

Nahla menarik nafas pelan. "Tidak sesederhana itu, Ahsan, hidupku sangat rumit, bahkan aku tak tau apa tujuanku di lahirkan."

Ahsan meneliti setiap ekspresi dari wajah Nahla, tak ada lagi tatapan mencemooh di matanya, atau ucapan judes di mulutnya, dia terlihat lebih manusiawi.

"Ayahku yang brengsek menikah dengan ibuku yang tak tau diri, jadilah aku berkubang dalam neraka. Aku sendiri tak tau dari mana wajah timur tengah ini aku dapatkan, ibuku pribumi asli, ayahku berdarah Inggris."

Nahla semakin larut dengan kisahnya, Ahsan sedikit tersentuh dengan hidupnya.

Nahla melanjutkan, "tak sedikit pun ayahku menunjukkan kasih sayangnya padaku, mungkin karena itu alasannya, dari dulu ibuku adalah seorang jalang."

Ahsan mengenggam tangan Nahla, untuk menguatkannya, dia patut di kasihani, tidak disalahkan akhlaknya begitu buruk. Nahla diam, membalas genggaman Ahsan, ini yang dia butuhkan, seseorang yang mau mendengarkan keluh kesahnya.

Mereka diam saling berpegangan, sama-sama menatap bulan purnama yang terlihat dari jendela yang belum ditutup. Ahsan mulai merubah pandangannya terhadap Nahla.

Ahsan sedikit kaget, saat Nahla menyandarkan kepalanya di bahunya, memejamkan matanya.

Nahla berbisik lirih," biarkan begini sebentar! aku lelah."

Ahsan menuruti, tapi tubuhnya kaku tak bisa merespon apa pun, ini asing baginya, walaupun Nahla adalah istrinya, tapi menerima perubahan secepat ini Ahsan belum siap.

Nahla tak menepati janjinya, dia mengatakan cuma sebentar, tapi apa yang dilihat Ahsan sekarang, gadis itu sudah bernafas teratur dengan mata terpejam, ya ... dia tertidur.

Beberapa menit Ahsan cukup tahan dengan posisi ini, tapi sekarang badannya mulai pegal, apa lagi Nahla sudah menumpukan badannya secara keseluruhan, mencari posisi ternyaman di tubuh Ahsan, memeluk pinggang Ahsan dan menyelusupkan wajahnya di dada laki-laki itu.

Ahsan mulai tidak nyaman, dia harus memindahkan Nahla, dengan hati- hati Ahsan menggendong Nahla. Ternyata Nahla lebih berat dari dugaannya.

Ahsan membaringkan Nahla dengan hati-hati. Sejauh ini belum ada perasaan apapun di hatinya terhadap Nahla, dia cuma bersimpati dan bersikap layaknya teman bagi Nahla.
Sedikit demi sedikit kebencian di hati Ahsan mulai terkikis, walaupun dia dicap seorang laki-laki yang kaku, tapi dia adalah manusia yang cepat bersimpati terhadap orang lain.

Nahla sudah tenggelam dalam mimpinya, meninggalkan Ahsan yang merenung. Semuanya sudah terjadi, pernikahan ini, Nahla, dan hukuman karena sesuatu yang tidak di lakukannya.

Mungkin Allah sengaja mengirim Nahla dalam hidupnya, untuk membantu gadis itu, akan tetapi apa kabar dengan hatinya? Hanum sudah menancapkan cintanya terlalu kuat di hatinya, tak sedikitpun rasa itu berkurang walaupun Nahla hadir dalam hidupnya. Bagaimana mereka menjalankan pernikahan ini tanpa cinta.

Ahsan memandang wajah Nahla dengan lekat, mencoba mencari debar di hatinya, tapi tak sedikit pun dia menemukan itu. Secara fisik, Nahla jauh lebih cantik dari Hanum, apa yang perempuan impikan ada pada Nahla, tapi tetap tak ada apapun di hatinya.

Ahsan menyelimuti Nahla, mungkin dengan menjalani dengan ikhlas adalah jalan satu-satunya saat ini.

Bidadari Surga yang Ternoda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang