3 : Dilema

144 10 3
                                    

Hubungan rumah tangga Bakri dan Marisa makin hari jadi makin rumit. Sekarang Marisa bahkan menggambar wajah bocah laki-laki itu yang beranjak dewasa. Suatu hari bocah laki-laki itu adalah pria tampan dengan rahang tegas dan alis tebal, hari berikutnya dia adalah pria agak berisi dengan kumis tebal. Semua itu tergantung imajinasi Marisa hari itu.

Bakri bukannya kehilangan kesabaran atas perilaku Marisa, hanya saja melihat wanita yang dicintainya begitu mendambakan orang lain, hatinya ternyata tak begitu kuat.

Hari itupun Marisa tak menjawab saat Bakri berpamitan untuk bekerja, dia hanya duduk didepan jendela, terbuai atas kenangan masa lalu seperti biasa.

Dan hari itupun Bakri kembali tak protes. Dia hanya pergi bekerja seperti biasa dengan sedikit rasa ngilu di ulu hati.

Desa Dadap bukanlah desa yang besar. Setiap warga pasti mengenal seluruh warga desa yang lain. Rumah disini saling berdekatan, sering seseorang akan mengundang seluruh warga desa untuk nobar sepakbola dirumahnya.

Bakri berjalan meyusuri jalan setapak. Hatinya masih terasa ngilu, tapi dia berusaha untuk tegar. Demi Marisa. Demi orang yang dicintai tak apa dia menahan sedikit sakit hati.

Saat itulah pak Yoko memanggil dirinya dari beranda rumah miliknya. Bakri menoleh, melihat gerakan tangan pak Yoko yang menyuruhnya mendekat, dia langsung melintas menuju kearahnya.

"Punapi pak?"

Pak Yoko menyesap puntung rokoknya, menghembuskan asap abu keudara sebelum dia menjawab. "Gentengnya bocor lagi Ri".

"Oh! Nggih saya benerin ya pak"

"Sup, thengyu somat Ri"

Bakri segera memulai pekerjaannya. Rumah pak Yoko adalah bangunan lama tapi antik, satu-satunya rumah yang seluruh bagiannya masih berbahan kayu di desa. Banyak yang menawarinya untuk membangun ulang rumah yang lebih layak, tapi dia selalu menolak.

Begitu Bakri sampai diatas, dia langsung mencari bagian atap yang berlubang untuk ditempel. Dia baru memukulkan palu ke paku beberapa kali saat mendengar senandung pak Yoko.

"Amina, putri Sutarji~ cintaku Amina, dimana gerangan? Sedang apa?~"

Bakri menunduk sedikit untuk menoleh. Amina bukannya mantan istri pak Yoko? Pikirnya. Bakri agak tersenyum geli, bisa-bisanya pak Yoko menyanyikan lagu untuk mantan istrinya.

"Kenapa Ri? Senang keliatannya kau diatas sana"

Tiba-tiba saja pak Yoko sudah mendongak kearahnya, Bakri tak menyembunyikan senyum lebarnya. "Kalau kangen sekarang kenapa dulu diceraikan pak?", guyonnya.

"Is is is", pak Yoko mendecakkan lidah. "Beginilah kau tidak mengerti hubungan Ri. Dalam hubungan bukan cuma butuh cinta, tapi juga pengertian dan rasa berjuang bersama"

Bakri jadi penasaran. "Terus yang terjadi dengan hubungan bapak?", tanyanya.

Kalau ditempat lain perilaku Bakri bisa dibilang melanggar privasi, tapi ini desa Dadap. Tiap warganya sudah seperti satu keluarga. Jadi dengan desahan panjang pak Yoko kembali menghembuskan asap rokoknya.

"Banyak cobaannya Ri. Sayangnya waktu itu aku belum terlalu mengerti soal hubungan. Andai dulu aku tahu kalau yang terpenting dalam memecahkan suatu masalah adalah saling bicara"

Saling bicara. Bakri tertegun ditempat. Apa alasan dia merasa hubungannya dengan Marisa selama ini rumit karena dia tak pernah membicarakannya? Karena dia hanya memikulnya dan menahan sakit hati sendiri?

Tiba-tiba Bakri seperti dicerahkan dari kabut yang menutupi benaknya. Marisa mungkin mengagumi sosok itu sebagai orang yang dicintainya dulu, tapi sekarang dia adalah milik Bakri. Bakri yang mencintainya.

"Ri"

Bakri kembali menoleh, pak Yoko kembali menengadah untuk menatapnya.

"Hubungan itu seperti lampu lalu lintas. Ada waktunya jalan, ada waktunya hati-hati, dan kalau memang bukan jodohmu, ada waktunya buat berhenti"

MarisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang