8 : Siapa

84 8 2
                                    

Bakri berlari sekuat tenaga sambil menggendong Marisa ditangannya. Begitu turun dari bus satu-satunya akses menuju desa adalah jalan kaki, dan Bakri tak bisa membuang waktu lagi. Nafas Marisa berat putus-putus dan tubuhnya panas sekali. Bakri tak tahu sudah berapa lama dia berdiam dibawah hujan.

Perjalanan 5 kilo menuju desa tak membuat Bakri menurunkan tempo larinya, akhirnya dengan penampilan yang amat amburadul dia berhasil tiba di perbatasan. Rolim, yang sepertinya dapat waktu berjaga malam itu langsung menghampirinya.

"Bakri? Dan ini Marisa kan?!"

"Tolong dibantu Lim. Bawa dia ke rumah pak Teja", kata Bakri.

Tanpa bertanya lagi, dengan sigap Rolim membantu Bakri membawa Marisa menuju rumah orangtuanya. Bakri yakin ibu Marisa pasti lebih tahu cara merawatnya ketimbang dia. Begitu tiba didepan pintu, ibu Dinar langsung menghambur keluar rumah. Dia menatap putrinya panik sambil bertanya apa yang terjadi. Bakri menjawab bahwa mereka harus merawat Marisa dulu. Akhirnya Marisa dibawa masuk ke kamar dan selanjutnya diurus oleh para wanita.

Bakri jatuh terduduk diatas kursi. Sekarang setelah dia membawa pulang Marisa barulah rasa pegal menyerang tubuhnya, kakinya serasa mau lepas. Pak Teja menatapnya lama, berusaha memberi Bakri waktu selama mungkin untuk istirahat sebelum bertanya.

"Apa yang terjadi Ri?"

Bakri tak kuasa menjawab apapun selain menggeleng. "Saya juga tak tahu pak. Begitu sampai di pelabuhan, dia sudah disana", kata Bakri akhirnya.

Pak Teja memandang Bakri, ada ekspresi yang tak bisa Bakri baca disana. "Beri tahu saja dia semuanya Ri", katanya tiba-tiba.

Kali ini Bakri menoleh padanya, seketika ekspresinya berubah keras. "Beri tahu apanya?".

"Semuanya"

"Tidak", kata Bakri keras. Kemudian setelah sadar nada bicaranya tidak sopan dia menambahkan dengan suara parau. "Belum"

"Lalu kapan?"

Bakri tak menjawab pertanyaan itu, pak Teja pun tidak menuntut. Mereka hanya duduk disana tanpa mengatakan apapun. Akhirnya setelah ibunya menyatakan Marisa baik-baik saja, Bakri pamit pulang kerumahnya. Tak ada yang berusaha menghentikannya.

Langkah kaki Bakri terasa goyah, dan hatinya sakit membayangkan Marisa yang terbaring lemah diatas ranjang. Ini semua adalah salahnya. Andai saja dia tidak meninggalkan Marisa, ini tak akan terjadi.

"Ri"

Bakri menoleh, itu Ismi yang berdiri didekat pohon mangga sambil memegang payung.

"Bisa bicara sebentar?"

Selanjutnya duduklah Bakri di warung milik ayah Ismi. Kebetulan hari itu hanya Ismi yang berjaga, dan hujan ini membuat tak ada orang yang nongkrong di warung malam ini. Ismi menyuguhkan secangkir kopi hitam untuknya.

"Minum dulu Ri", katanya.

"Terimakasih Ri". Bakri menyesap kopi itu, rasanya enak sekali menyesap kopi saat tubuhnya pegal begini.

"Marisa baik-baik aja?", tanya Ismi kemudian.

Bakri mengangguk. "Katanya cuma demam", kata Bakri. Kemudian setelah terdiam sebentar dia menambahkan. "Kamu kan yang menulis suratnya?"

Ismi mengangguk.

"Terimakasih", Bakri tersenyum.

Suara hujan yang memukul-mukul atap seng membuat suara gaduh diatas kepala mereka, namun lama mereka hanya diam sambil menikmati aroma hujan bercampur kopi.

Tiba-tiba Ismi buka suara. "Aku tahu semuanya Ri"

Bakri berhenti menyesap kopinya dan menoleh pada Ismi.

"Tentang gambar yang dibuat Marisa, aku tahu semua", kata Ismi lagi.

Kali ini Bakri menatapnya sambil terbelalak. "Bagaimana?"

Ismi tersenyum kecil. "Kau tak usah tahu", katanya. Tiba-tiba wajahnya berubah serius. "Kenapa tak kau katakan saja semua?"

Bakri merasakan otot-otot lehernya menegang. "Katakan apa?", dia bertanya.

"Kalau kau adalah anak yang digambar wajahnya oleh Marisa"

Dada Bakri mencelos seketika. Akhirnya yang bisa dia katakan hanyalah : "Tidak"

"Kenapa?", tanya Ismi.

Bakri menggeleng lemah. "Aku tak bisa"

Ismi sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari Bakri. "Kenapa?"

"Karena-", Bakri menggantung kalimatnya diudara. Matanya menerawang entah kemana sebelum akhirnya menunduk dalam. "Tidak saat aku masih seperti sekarang"

"Memangnya kau sekarang seperti apa"

Bakri mendongak dan menatap Ismi. "Orang miskin yang hidupnya tak pasti. Anak yang dia tahu bercita-cita untuk jadi dokter, lihat jadi apa anak itu sekarang? Bukan apa-apa"

"Dia bukannya tak jadi apa-apa", kata Ismi tajam. "Dia menjadi seorang 'Bakri'"

"Tapi-"

"Lalu kenapa kalau dia tidak jadi dokter? Apa Marisa protes soal itu? Pernah tidak kau berpikir Ri, yang diinginkan Marisa hanya bertemu anak itu. Tak peduli jadi siapa dia, Marisa hanya ingin bertemu. Cuma itu"

"Ismi", Bakri melongo menatap Ismi yang baru saja bicara tanpa jeda.

"Lalu kebetulan anak itu berubah jadi Bakri", sebuah senyum muncul diwajah Ismi. "Orang yang dicintai Marisa"

Bakri pun diam terpaku. Matanya terbuka lebar dan mulutnya menggantung diudara. Ismi menanggapi reaksinya itu dengan sebuah tepukan dipunggung.

"Pulanglah Ri. Tadi aku melihat dia berlari kearah rumah kalian"

Dan tanpa berkata apapun lagi Bakri langsung melesat menerobos hujan. Butiran air yang menghalangi pandangannya tak ia hiraukan.
Jantungnya berdebar-debar. Perutnya mulas tapi dia tak peduli. Dia berbelok menuju halaman rumahnya. Begitu membuka pintu dia langsung mendapati sosok Marisa yang memunggunginya.

"Mar?", tanya Bakri.

Seketika Marisa berbalik, tangannya memegang secarik kertas. Tak sekalipun matanya meninggalkan barisan kalimat disana. Akhirnya dia menoleh pada Bakri.

"Itu kau", katanya, terdengar takjub dengan kalimatnya sendiri.

Bakri merasakan dirinya menahan nafas. "Itu aku", sahutnya dengan suara tercekat.

"Kenapa saya tak ingat?", kata Marisa parau.

"Kau baru tujuh tahun dulu", jawab Bakri pelan. "Dan setelahnya kau sekolah di kota sampai SMP".

Marisa terdiam ditempatnya berdiri. Seketika perasaan takut menghantui Bakri. Bagaimana kalau reaksi Marisa memang seperti yang dia pikirkan selama ini? Bakri menelan ludah. Bagaimana kalau Marisa kecewa?

Tiba-tiba saja Marisa tertawa. Bakri memandanginya takjub. Air mata Marisa mengalir bersamaan dengan suara tawanya yang merdu. Seketika dada Bakri mencelos melihat pemandangan itu.
Marisa menarik nafas dan mengusap wajahnya dengan punggung tangan. Sambil tersenyum lebar dia menatap Bakri. "Hai".

Kembali Bakri terpana. Ah ya, apa yang dia sebenarnya khawatirkan? Ini Marisa, wanita yang menyambutnya dengan senyumnya yang ini sejak awal, bahkan sejak mereka pertama kali bertemu dulu.

Dengan mata berkaca-kaca Bakri membalas Marisa.

"Hai"

MarisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang