4 : Bicara dengan Marisa

115 10 7
                                    

Selama tiga bulan pernikahannya dengan Marisa, Bakri tak akan mengatakan kalau dirinya tidak puas. Hubungan rumah tangga mereka harmonis, dan setiap hari Bakri disuguhkan dengan senyum manis yang membuatnya semangat 45 untuk bekerja.

Meskipun Marisa sering mengabaikannya kalau sudah duduk dengan buku gambarnya didepan jendela, meskipun berkali-kali Bakri menelan pahitnya kenyataan kalau Marisa lupa menyiapkan makan untuknya. Bakri tetap merasa bahagia.

Tapi hari itu, begitu masuk kedalam rumah dia langsung disambut oleh senyuman paling lebar Marisa.

"Makan dulu Ri", katanya lembut seraya menuntun Bakri menuju meja makan.

Bakri terpana. Dari sejak menginjakkan kaki dirumah hingga telah duduk didepan sayur tumis dan tahu gejrot buatan Marisa, tak sekalipun dia mampu untuk berkedip. Apa ini sungguhan? Marisa benar-benar menyambutnya pulang alih-alih mengabaikannya seperti biasa.

"Dimakan Ri", katanya manis.

Bakri tak perlu diberitahu dua kali sebelum langsung menyendokkan makanan kemulutnya. Sayurnya keasinan, tapi dengan tersenyum dia menatap Marisa. "Enak"

Marisa masih tersenyum manis dan Bakri seolah meleleh ditempat. Apa ini benar-benar terjadi? Pikirnya. Apa Marisa benar-benar sudah melihat padanya?

Setelah makan Marisa menyuruh Bakri untuk segera mandi. Agak tersipu Bakri langsung meloncat kedalam bilik kamar mandi. Dengan semangat dia gosok seluruh peluh dan daki dari tubuhnya hingga kinclong. Setelah mengeringkan tubuh, dia colekkan sedikit mamalemon ke ketiaknya supaya wangi.

Bakri sudah sangat berseri-seri, hingga kemudian dia melihat Marisa yang duduk termenung didepan jendela. Kembali dia memandangi gambar laki-laki yang dilukisnya itu.

Dengan sedikit rasa getir di hati, Bakri mendekati istrinya dan berjongkok didekatnya.

"Mar, ada yang ingin aku bicarakan".

Tapi balasan Marisa malah, "Ri, saya tak tahu yang mana dia sekarang. Saya coba bayangkan, tapi saya tak tahu Ri".

Bakri menahan rasa sakit di hatinya. Dengan lembut dia menjauhkan gambar-gambar itu dari Marisa, hingga sekarang mereka benar-benar saling bertatapan.

"Ada apa Ri?", Marisa menatapnya bingung.

Bakri menghela nafas panjang. Sebelah tangannya mengusap pelan wajahnya sebelum kembali menatap istrinya itu.

"Mar, sudah waktunya kamu melupakan masa lalu"

"Apa maksudmu Ri?", tanya Marisa terlihat terkejut.

"Orang itu", kata Bakri, ekspresinya berubah keras. "Lupakan dia Mar, dan lihat aku"

"Tapi saya selalu melihat padamu Ri", ujar Marisa, nyaris menangis.

Bakri menatapnya getir. "Tidak sebanyak kau melihat sosok itu Mar"

Tiba-tiba Marisa bangkit. "Kau bilang menerima saya tanpa peduli masa lalu saya Ri"

"Iya Mar, karena aku mencintaimu. Tapi bagaimana dengan aku? Perasaanku nyatanya hancur melihat kau terus mengenang orang itu", Bakri berusaha menahan perasaannya sekuat mungkin. Dia tak ingin membuat Marisa merasa dupojokkan.

"Tapi saya tak bisa Ri", kali ini Marisa sudah meneteskan air mata.

Bakri menahan nafas saat mengusap pelan pipi Marisa. "Cobalah Mar"

"Saya bilang tak bisa Ri!", Marisa kemudian mendorong Bakri dan berlari kedalam kamar. Dari dalam terdengar suara pintu dikunci.

Bakri terdiam ditempatnya berdiri. Terperanjat. Rasa sakit yang memelintir hatinya kini membakar seluruh jiwanya. Dengan rasa sakit hati Bakri bangkit dari sana.

Malam itu bersama pak Mamat, dia tidur di pos ronda.

MarisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang