Tanda Semua Ini Bermula

18 13 0
                                    

Terminal Bus Pakupatan Serang di pagi hari.
Aku baru saja turun dari bus kota ketika hamparan halamannya yang luas dan berdebu langsung menyapaku.

Aku menarik nafas dalam-dalam menghirup udara kota Serang yang tampaknya sudah cukup berpolusi walaupun dipagi hari.
Entah kenapa setelah pergi berlibur ke kota Bandung selama dua bulan, rasanya beda sekali ketika aku menginjakkan kaki di kota kelahiranku sendiri. Banyak hal yang membedakan antara kota kelahiranku dengan kota kembang itu. Jujur saja, kota ku terhitung masih tertinggal lima tahun kebelakang jika dibandingkan dengan kota Bandung.

Dan juga menapakan kaki ku di kota ini rasanya berat sekali karena pikiran ku langsung mengingat sebuah kejadian yang terjadi di kota ini beberapa bulan lalu.

Yah benar. Wanita itu. Sosok nya sangat susah sekali untuk dilupakan. Kehadiran dia selalu bermain dengan liar didalam pikiranku.
Bukan karena pesona tampilannya, tapi karena kisah hidupnya.
Tidak ada sedikitpun kata yang dia ucap yang dapat kulupakan.

Ketika aku berjalan di hamparan luas terminal ini,  kulihat perempuan-perempuan berjubah besar berjalan berombongan menuju pelataran masjid. Wajah-wajah mereka menunduk seperti sedang menghitung langkah-langkah amalan ibadah. Entahlah, apa semua orang beriman seperti itu?
Fairus, kawan seangkatan ku dari pondok juga berjalan seperti itu. Menundukkan wajah ke tanah memandangi debu-debu yang berterbangan di kaki mereka dan di ujung jubah.
Aku mencoba untuk mengikuti gerakan berjalan mereka, mungkin apabila aku mengikuti, aku dapat merasakan manfaatnya.?

Dalam perjalanan pulang kerumah memakai jasa tukang ojek, handphone ku tiba-tiba berdering menggetarkan saku celana.
Aku mengambilnya dan melihat siapa yang menelepon ku. Itu Rizal. Teman lama dan teman sekuliah ku yang juga berasal dari pondok.

"Assalamualaikum. "

"Walaikumsalam. Ada apa Zal? "

"Saya dengar kamu sekarang sudah pulang ke Serang yah? "

"Iya Zal. Sudah cukup berlibur di Bandung nya. "

"Mampir kerumah,Fach. Ada yang perlu disampaikan. Bisa tidak?  "

"Oke. Setelah saya pulang kerumah dulu untuk menaruh barang, saya langsung pergi kerumahmu, Zal. "

"Oke. Ditunggu yah. Assalamualaikum"

"Walaikumsalam"

Jarang sekali Rizal meneleponku, kuingat terakhir kali dia meneleponku adalah setahun terakhir untuk mengabarkan ada acara reunian. Tapi sekarang mengapa dia menyuruhku untuk pergi kerumahnya? Pasti ada hal yang lebih penting dari sekedar memberi informasi yang ingin dia sampaikan.

Karena rasa penasaranku yang cukup tinggi, aku mengurungkan niat untuk pulang kerumah dan langsung pergi ke rumah Rizal.

"Pa maaf merepotkan, puter balik pa. Pergi ke arah jalan Bhayangkari. " ucapku kepada tukang ojek. 
"Oh iya mas." balasnya.

Tak butuh waktu lama aku sampai dirumah Rizal.

Rumahnya masih sama seperti terakhir kali aku berkunjung kesini sekitar dua atau tiga tahun yang lalu. Tidak ada perbedaan signifikan selain cat rumah nya saja yang diganti warnanya.

Aku mengucapkan salam dan mengetuk pintu rumah Rizal. Baru saja dua ketukan, pintu sudah terbuka.
Rizal dengan senyum hangatnya yang khas mengundangku untuk masuk kedalam rumahnya.
Lalu aku melepas sepatu kulitku dan masuk kedalam rumahnya.

Kita berdua duduk saling berhadapan diruang tamu milik rumah Rizal. Rizal dengan insiatif membuka percakapan diantara kita, "Gimana kabar, Fach? "

"Alhamdulillah baik, Zal. Kamu? gimana kabarnya? "

"Yah seperti yang terlihat. Maaf nih sebelumnya sudah ngerepotinmu. "

"Ga masalah kok Zal. "

"Oiya langsung aja. Jadi sebenarnya maksud saya mengundang kerumah adalah karena ada satu amanat yang harus diberikan kepadamu. "

"Amanat apa?"

"kamu kenal Ratih,kan? "

Ratih? Pikiranku dengan spontan mencoba mengingat nama itu.

" Ratih anak jurusan Tarbiyah kah? "

Rizal mengangguk menjawab pertanyaan ku.

Ratih. Aku mengenal dia. Aku pernah mengobrol dengannya saat tugas kuliah menuntut kami untuk sekelompok. Sebelumnya aku juga sudah mengenal dia saat ospek, tapi kami jarang mengobrol. Dari gerak-geriknya, dia tampak seperti seorang muslimah yang taat ibadah. Aku melihat didalam dirinya ada pembawaan lain dari teman-teman perempuanku yang lain yang selama ini kukenal. Dia tak banyak bergaya dan bersolek sebagaimana perempuan lazimnya. Hidupnya pun terlihat sederhana. Apa yang diucapkannya itu juga yang dilakukannya.

"Saya kenal. Emang kenapa, Zal? "

"Dia meninggal seminggu yang lalu. "

"Innalilahi wa Inna ilaihi roji'un. Meninggal karena apa , Zal? "

"Kurang tahu. Saya cuma dapat kabar dari temannya. Temannya Ratih, dia hanya ngasih kabar ke saya kalau Ratih meninggal dan ninggalin surat buat mu "

Rizal memberikan sebuah surat yang dibungkus oleh amplop dan tertulis namaku diatas nya.

Teruntuk : Muhammad Fachrizal

Surat ? Mengapa Ratih memberiku sebuah surat ? Bahkan percakapan diantara kita selama ini tidak lebih dari 100 kalimat.

"Kamu ada hubungan sama Ratih, Fach? "

Haruskah aku berterus terang kepada Rizal bahwa sebenarnya aku tidak terlalu mengenal Ratih ? Namun kurasa itu adalah pilihan yang salah. Oleh karena itu aku hanya berkata, "Ah iyah, dia adalah saudara jauh!  " dengan spontan aku berbohong kepada Rizal.

JalangWhere stories live. Discover now