Pengakuan

128 7 1
                                    

          Senja menggantung di penghujung kehidupan, rembulan samar mengetuk sang malam. Panggilan untuk menghadap sang khalik pun menyayat hati bagi pendengar yang beriman.

"Udah adzan bo! Maghripan yok!" Anne tetap setia mengajak sahabatnya itu walau selalu mendapat penolakan.

"Yaudah kalo gak sholat, tapi gak boleh tidur kalo' maghrib, nanti ketimpa'an setan kalo' kata orang dulu." Tambah Anne.

"Iya.. iya kau cerewet kali lah lama-lama ku tengok!" kesal Lika.

Tiga rakaat satu salam, dilanjutkan dengan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an di lantunkan indah oleh Anne.

Menunggu Isya, Anne pun membuka kertas-kertas tumpukan anak murid Paman Musa yang sudah tersedia di meja belajar, tanpa ia tau kapan Paman Musa memberikannya.

"Nekkkkk....." suara yang memekakkan telingan masuk melalui pintu yang menganga.

"Maaf Nekkkkkkk....." lanjutnya dengan suara yang lebih kencang.

"Mayda Nek?" tanya Lika sembari menuruni ranjang dan seketika ada di samping Anne.

Anne hanya melirik Lika bingung. Dia langsung membuka telkung (mukenah) yang masih melekat di tubuhnya.

"Kau kenapa si?" bentak Anne di depan pintu.

"Papa minta maaf sayangggg...." teriak Mayda dari halaman rumah.

Anne menggelengkan kepalanya. "Allah selamatkan hamba Allah" Anne berdoa dalam hati.

Anne menghampiri Mayda, menarik tangannya dan membawanya keluar dari tempat itu. keadaan memang cukup sepi, tidak ada keluarga Lika yang berkeliaran. Paman Musa mengintruksikan kepada semua penghuni rumah untuk tidak keluar rumah saat maghrib dan setelahnya.

Anne menghentikan langkah di jembatan kecil berjarak sekitar dua ratus meter dan duduk di sisi jembatan yang di tembok.

"Bisa gak si kau kalo' gak ganggu aku?" bentak Anne kesal dengan kelakuan Mayda.

"Salahku apa si Nek? Cobak kau kasi tau aku! biar aku tau! Kau diam! Entah apa maumu pun!" balas Mayda yang juga dengan nada kekesalan.

"Mauku apa kau bilang? Kan aku dah bilang! Mauku.. kau! Jangan! Ganggu! Aku!" Anne mendikte kata demi kata.

"agghh..." Anne merintih sakit sambil memegang perutnya.

Sejak tadi sore, Anne sudah merasakan ada yang tidak beres pada perut kirinya, tapi dia tidak memberikan kesempatan untuk penyakit bersarang pada bagian tubuhnya. Tapi kali ini mungkin kekebalan tubuhnya mulai berontak.

"Kau kenapa Nek?" tanya Mayda takut.

Anne tidak bisa berkata lagi, sakit yang tak bisa di tahannya. Dia hanya bisa menarik nafas dan mengeluarkannya perlahan, mengharapkan semua sakit itu hilang hanya dengan usaha itu. bukan kali ini saja dia menahan rasa seperti itu. tapi kali ini sakit itu tidak bisa hilang begitu saja hanya dengan tarikan dan hembusan nafas.

Mayda bingung melihat pemandangan di hadapannya, dia berlari mengambil kereta di rumah yang jaraknya tidak jauh dari tempat mereka sekarang.

Tidak sampai tiga menit Mayda sudah sampai dengan kereta bebeknya. Dia mendudukkan Anne di jok belakang dan mengikat tubuhnya dan Anne dengan kain panjang. Melihat tubuh Anne yang melemah, dia takut kalau Anne tidak sanggup menopang tubuhnya.

Mayda melajukan kereka melewati kegelapan kebun sawit. Seorang mantri wanita yang di kenalnya yang juga sudah menjadi saudara angkat bagi Bapak Mayda.

Air Mata AnneWhere stories live. Discover now