5.Rumah Baru

143 22 0
                                    

Seperti yang kukatakan kemarin. Aku akan pindah kerumah papa. Sekitar jam 5 pagi, papa datang untuk mengangkut barang-barangku dan bibi. Tapi aku tidak ikut karena harus sekolah. Aku tidak ingin bolos sekolah hanya karena terpaksa pindah rumah. Sungguh, ini sangat menyebalkan.

"Ini alamat rumah papa," kata papa memberikan kertas kepadaku.
Aku mengangguk.

Kulihat dari jendela kamar, bibi sudah naik ke dalam mobil juga papa, tak lama kemudian mobil itu pergi.

Aku hanya bisa tersenyum miris melihat keadaan rumahku yang sebentar lagi akan kutinggalkan. Banyak sekali kenangan tentang aku dan mama di sini. Setelah rumah ini di jual, pasti kamar ini akan didiami orang lain. Kamar yang dari dulu adalah tempat terindah untuk menumpahkan segala unek-unek masalah.

Dari semalam aku terus memikirkan tentang, mama tiriku jahat atau tidak ya?
Kakak dan adikku suka denganku atau tidak ya? Entahlah. Tapi aku tidak kenal mereka dan seharusnya tidak perlu kenal.

Rasanya sangat berat untuk pergi dari rumah yang dulunya berisi kasih sayang dan perhatian ini. Masa kecilku kuhabiskan di sini dan sekarang aku harus pergi.

Dengan penuh keterpaksaan, aku keluar dari rumah ini. Kukunci dengan tangan dan berat hati. Sebelum akhirnya menjauh dari rumah ku tatap rumah indah itu dari jauh. 'Selamat tinggal'

Aku berlari menjauhi rumah itu untuk pergi ke halte. Tanpa kusadari laki-laki berbaju putih abu-abu dan motor scoopy itu menatapku. 'Saka' batinku.

Dia melambaikan tangannya padaku. Aku pun langsung berlari ke arahnya. Tanpa ada rasa gengsi ataupun malu, aku memeluknya. Kurasa tubuhnya menegang saat ku peluk. Ah! Aku tak perduli. Aku menangis dalam pelukan Saka, sekencang-kencangnya. Hatiku benar-benar hancur walau cuma diminta pindah rumah. Aku selalu teringat mama.

Saka mengelus pucuk rambutku. Dari tadi ia hanya diam, memberiku ruang untuk menumpahkan segala masalah pada dirinya.

Hingga akhirnya ku lepaskan pelukanku.
"Maaf." Itulah kata yang pertama kekuar dari mulutku.
"Terimakasih."
Sambil mengulap sisa air mataku aku menjawab. "Untuk apa terimakasih."
"Sudah membuat jiwaku nge-Fly sampek ke mars," jawabnya.
"Ada-ada aja kamu ini."
"Ya sudah, ayo berangkat. Pakai dulu helmnya."

Dia memakaikanku helm dengan sedikit menahan tawa. Aku curiga, apa yang dia tertawakan.
"Kenapa ketawa?"
"Seneng aja."
"Seneng kenapa?" tanyaku menaikkan intonasi.
"Seneng dipeluk kamu."
Lagi-lagi pipiku ini merona.

Angin angin pagi menyapa dua pengendara ini yaitu aku dan Saka. Jalanan sedikit padat karena banyak penghuni kota yang akan bekerja.

"Nanti mau dijemput?" tanyanya saat kami berhenti di lampu merah.
"Nggak usah, kan aku sudah pindah rumah, " kataku.
"Oke, tapi lain kali aku pengen tahu rumah kamu, bolehkan."
"Boleh si, asal..."
"Asal apa?"
"Nggak jadi deh," ucapku.
"Kalau asal aku mencintaimu. Kan sudah kejadian," katanya cengengesan.
Aku memukul pundaknya dari belakang. Aku benar akan malu jika sampai Saka melihat wajahku yang pucat karena gombalannya.

Sampainya di sekolahan, aku langsung menuju kantin. Pagi tadi bibi tidak sempat memasak jadi aku pergi kekantin. Juga pasti tidak akan ada pelajaran yang masuk ke otakku jika perutku mengemis minta diberi asupan.

Aku memesan soto dan susu coklat kesukaanku. Sebelum seorang laki-laki berhidung mancung nan tinggi itu duduk di depanku.

Hari Masih Akan BerlanjutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang