7. Kopi dan Rasa

39 5 0
                                    

"Iya tante, Saka sudah kenal,"

"Hah, sudah kenal?"
"Saka sama Sastra sudah berteman dari 6 bulan lalu," jawab Saka.

Ya Tuhan, aku benar tidak menyangka bahwa teman kak Alam ternyata Saka yang selama ini aku kenal.

"Oh, jadi anak perempuan berambut sebahu yang kamu ceritakan itu anak tante ternyata?" goda mama padaku dan Saka.

Saka tersenyum. Kak Alam pun begitu.

Jadi selama ini, Saka selaku bercerita tentangku dengan mama dan kak Alam. Aku sangat malu, sangat!

"Mama, Sastra ke kamar dulu,"
"Sebentar, Kenzi mana? Bukannya dia sudah di suruh papamu untuk mengantar kamu pulang?"tanya mama.
Hadehh Kak Kenzi lagi, lama-lama perutku mulas kalau bicara soal kak Kenzi, dia sangat menyebalkan!!! Sungguh!!!
"Iya ma, tadi kak Kenzi jemput aku, tapi tadi aku bilang aku nggak mau pulang barengan. Jadi naik taksi deh," jelasku. Aku sedikit takut jika mama akan marah, nanti dikira aku anak yang nggak sopan lagi, nolak permintaanya papa. Padahal sebenarnya aku mau pulang sama kak Kenzi kalau kak Kenzi nggak kasar dan menyebalkan.
"Kenapa nggak mau? Takut Saka cemburu?" mama tertawa.
"Ih!! Bukan ma, Kak Kenzi menyebalkan!"

"Kok gue yang nyebelin, seharusnya lo yang nyebelin!" tiba-tiba seorang cowok alias kak Kenzi kuncul dari balik pintu. Rupanya ia sudah berganti baju.

Mamapun kaget dengan kedatangan Kak Kenzi yang masuk tanpa salam.
"Dasar nggak tahu diri, masuk rumah orang itu salam dulu, main masuk aja," gerutuku.
"Emang lo orang? Bukannya lo itu penunggu di pohon kelapa depan halte itu ya?" ejek kak Kenzi yang membuatku tambah geram.

"Udah ah ma, Sastra mau ke kamar dulu, itu orang gila mending di usir aja," kataku sambil menunjuk Kak Kenzi yang kumaksud sebagai orang gila.
"Enak aja orang gila-"
"Sudah-sudah, Sastra ganti baju cepat, Saka ingin mengajakmu pergi," kata mama membuatku kaget.
Leherku dengan perlahan membawaku menatap Saka yang juga sedang menatapku. Mataku dan matanya bertemu di titik yang paling tenang, tenang sekali. Dia menatapku dengan menitipkan sunggingan kecil di bibirnya.

Aku lekas mengganti baju. Ah, apa yang akan terjadi setelah ini? Apakah Saka benar ingin pindah ke Bandung. Apakah ini terakhir kalinya aku bertemu dengannya? Besok adalah hari perpisahannya. Apakah juga menjadi hari di mana aku dan Saka juga akan berpisah?
Aku tahu, aku dan Saka bukanlah siapa-siapa. Tapi selama apa yang kita jalani enam bulan terakhir bukankah hal yang menakjubkan?

Dia menemuiku di kedai kopi mas Bono, mengikuti ku pulang, menemuiku di metro mini, mengajakku ke toko koran, bahkan menemui mamaku yang sakit gangguan jiwa.
Apa semua itu adalah peristiwa biasa?

*******

Aku berjalan menuju ruang tamu, dan mama asih ada di sana? Masih ada juga manusia menyebalkan itu.

"Sastra, sudah ganti baju nak,"
Aku tersenyum.
Saka menatapku dengan senyuman lebar yang menghiasi bibirny. Aku sangat gugup kali ini.
"Tante, saya dijininkan buat pegi sama Sastra?" tanya Saka pada mama.
"Iya dong, tante percaya sama kamu," Jawab mama.
"Makasih tante,"

"Eh kuntilanak, jangan lupa kalo pulang bawa jajan yang banyak,minta aja sama Saka, dia uangnya banyak, oke," ucapnya mengacungkan jempol padaku.
"Dasar orang gila," teriakku.

Aku dan Saka keluar dari rumah. Aku benar-benar gugup, tak tahu harus apa.
"Kenapa diam? Aku masih Saka yang dulu," katanya sambil tersenyum dan memasangkan helm di kepalaku. Namun mulutku masih saja terkunci. Mungkin aku masih benar belum percaya bahwa Saka ternyata teman atau sahabat dari kak Alam, memang si itu bukan sebuah masalah, namun tetap saja aku kaget.

"Sebenarnya aku sudah tahu kalau kamu adalah adiknya Alam. Alam sendiri yang cerita waktu itu," jelasnya sebelum aku naik ke motor scoopy miliknya.
"Hmm, aku sangat kaget," jawabku.
"Kamu sudah baca suratku?" tanya Saka sambil mulai menjalankan motornya.
"Iya,"
"Iya, aja jawabannya? Nggak mau tanya sesuatu gitu?"

Sebenarnya aku ingin sekali memastikan apakah Saka benar akan berangkat ke bandung atau tidak. Tapi aku tidak ingin terlihat sedih jika bicara soal kepergiannya. Aku sengaja diam, atau lebih tepatnya pura-pura tidak mendengar pertanyaannya.

"Dua hari lagi aku pergi ke bandung," katanya tiba-tiba.
"Udah tahu," jawabku.
Kami masih ada di atas motor, aku juga masih bingung dia akan mengajakku kemana pun aku tak tahu.

"Kamu marah?" tanya Saka
"Enggak, buat apa marah sama kamu," kataku.
Setelah itu Saka memberhentikan motornya di kedai kopi mas Bono. Tak disangka, akhirnya aku kembali ke sini setelah lama. Tak tahulah harus senang atau apa.

Kami masuk ke dalam kedai. Kulihat mas Bono sedang sibuk melayani pelanggannya.
"Mas Bono!!" teriakku.
Yang kuteriakki menatapku dengan kaget.
"Eii, Sastra," dia menghampiriku dengan cepat. "Ku kira kamu sudah mati, lama sekali tidak berkunjung ke sini, ah bikin rindu saja kamu ini," katanya terlihat antusias dengan kedatanganku.
"Ish, apasih mas Bono, ngedoain aku mati ya, awas aja,"
"hehehe"

Aku dan Saka duduk di tempat yang dulu pernah aku duduki dengannya sewaktu kehujanan.
Tak disangka bisa kembali di sini, berdua. Meski aku tahu ini adalah akhir pertemuan.

"Mau kopi apa?"tanya Saka
"Apa aja yang kamu suka,"
"Hah? Tra... Traa. Sastra!!"

Tiba-tiba Saka menggoyangkan tanganku yang kugunakan untuk menompang kepala. Aku melamun.

"Kenapa?" tanyaku kaget risau dan khawatir.
"Seharusnya aku yang tanya, kamu kenapa?" tanya balik Saka. Aku saja bingung harus jawab apa.
"Emang aku kenapa?"
"Melamun, kutanya malah jawab yg enggak-enggak."

Dua kopi yang aku tak tahu rasa apa itu datang ke meja kami. Dari tadi Saka bercerita kepadaku tentang peta hidup yang dia buat saat nanti kaliah di bandung.

Sedangkan aku bingung, memikirkan bagaimana caranya agar dia tidak jadi pergi ke bandung. Tapi mana mungkin, aku bukan siapa-siapanya. Aku pasti juga tidak berhak untuk melarangnya. Ya ampunn.

Kulihat Saka meminum kopinya. Ia pun seperti punya beban untuk meninggalkan jakarta. Ia melihatku ketika ku tatap, biasanya aku langsung mengalihkan pandanganku, tapi kali ini tidak, tidak ingin kualihkan, tidak ingin dia kubiarkan pergi!

"Saka aku keberatan jika kamu pergi,"

Lima puluh persen pikiranku sudah terbang setelah mengatakan hal itu. Tapi itu memang benar, aku keberatan jika ia pergi, sungguh!

"Maksudmu apa, tra?"
"Ya, aku keberatan saja, sulit untuk jauh denganmu,"
"Maaf, jika sudah membuatmu kepikiran, namun itulah kalimat yang dari kemarin kutunggu. Bukan cuma kamu yang berat tapi aku pun,"

Aku memeluknya dia pun begitu. Aku tidak menangis, hanya saja aku benar-benar tidak ingin ini terjadi.

Aku tidak ingin ini terjadi!

Kuy vote + comment plissss.
Lama bet gk update. Miss uuuuuuuuuuu. ❤❤❤

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 12, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hari Masih Akan BerlanjutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang