1. Kedai Kopi Mas Bono

291 37 6
                                    

"Waktu berkunjung anda sudah selesai mbak."
Aku mengangguk, seraya langsung pergi. Berat sekali rasanya meninggalkan orang yang luar biasa dihidupku itu. Namun bisa apa aku? Mengunjunginya saja diberi waktu, seakan-akan rumah sakit ini sudah menjadi penghalang kasih sayang yang selama ini berjalan.

Aku keluar dari rumah sakit jiwa itu, lalu singgah sebentar di kedai kopi mas Bono setelah turun dari metro mini. Letaknya nggak terlalu jauh dari rumah dan ini salah satunya tempat kesukaanku.

"Mas, kopi macciatonya satu,"
Tiba-tiba ada seorang laki-laki berbaju SMA duduk disampingku, tanpa permisi pula.
"Dua mas, "sahutnya.
"Suka macciato juga ya?"
Aku melihat sekeliling, tak ada orang didekatnya selain aku. Kemungkinan besar sih pasti ngomong sama aku.
"Ngomong sama aku?" tanyaku polos.
"Sama meja, ya iyalah, siapa lagi coba?"
Aku tersenyum kecil.

Suasana canggung. Aku hanya memperhatikan sekitar,tumben sekali kedai mas Bono sepi, padahal bisanya aku sampai nggak kebagian tempat duduk.

Tak lama kemudian mas Bono datang membawakan dua kopi macciato yang aromanya dari jauh sudah tercium sampai hidungku.

"Nah, ini kopinya, silahkan. Ei, sastra ini temanmu kah? Baru lihat aku," tanya mas Bono. Karena sering mengunjungi kedai ini, aku jadi akrab dengan mas Bono. Sering juga kalau ada masalah aku malah curhat sama mas Bono.
"Bukan mas," jawabku.
Dia memandangku dengan tersenyum dan berkata "Saka," seraya menyodorkan tangannya.
"Sastra jingga, panggil saja Sastra,"
"Jika kupanggil Jingga boleh?"
Aku jadi teringat dengan orang yang sering memanggilku Jingga. Sebenarnya panggilan Jingga hanya boleh diucapkan olehnya saja, bukan orang asing seperti dia.
"Panggil sastra saja,"
"Kenapa? Bukankah sama-sama namamu?"tanyanya
"Aku tidak suka dipanggil Jingga," jawabku.
"Baik, baik,"

Mas Bono angkat kaki dari meja kami," Saya permisi, lanjutkan saja perkenalan kalian." Sambil tertawa.

Aku menyeruput kopi macciatoku dengan perlahan. Sudah beberapa kali dokter mengingatkan untuk mengurangi minum kopi, tapi tetap saja, lidahku rasanya gatal jika tidak merasakan kopi ini sekalipun asam lambungku naik. Sudah terlalu banyak kopi yang ku minum dan ternyata berdampak buruk dalam tubuhku. Aku sudah terlanjur candu dengannya, dan enggan pergi mencari yang lain.

Setelah kopiku habis, aku beranjak pergi dan berjalan kaki menuju rumah, lucunya dia berjalan tepat disebelahku. Aku lantas mempehatikan penampilanya, wajahnya kusam, rambutnya mulai acak-acakan,
dia memakai sepatu Vans dan tasnya berwarna hitam dengan simbol angka 4:20 yang aku pun tak tahu artinya. Dari matanya kulihat dia sangat lelah.

"Instingku, kamu pasti kelas 10, benarkan tebakanku?"
"Iya, "
"Kulihat dari tadi murung, ada apa?"
Aku menggeleng. Bergumam, ya ampun! Siapa sih dia ini?
"Rumahmu disekitar sini juga?"tanyaku.
"Tidak, sebenarnya aku hanya ingin bertemu denganmu saja,"
"Untuk apa," tanyaku.
"Untuk bertemu denganmu," jawabnya yang membuatku tak mengerti maksud perkataanya.

Aku kembali diam, dia pun begitu. Kudengar ia melantunkan lagu seperti ini,

"Yang yang patah tumbuh yang hilang berganti, yang hancur lebur akan terobati, "

Liriknya bagus dan penuh makna, jadi pengen tahu judul lagu dan penyanyinya.
"Liriknya bagus," ucapku.
"Kamu suka? Judulnya Yang patah tumbuh yang hilang berganti dari Banda Neira, "
Aku mengangguk. Belum pernah aku mendengar band bernama Banda Neira.
"Setahuku, Banda Neira itu pulau bukan band," ujarku
"Kamu saja yang kurang wawasan," jawabnya tersenyum kearahku.
"Sudah pernah nonton konsernya?" tanyaku.
Dia menggeleng. "Sudah bubar, sebelum aku tahu lagu-lagunya,"jawabnya.
Aku hanya menganggukkan kepala.

Hari Masih Akan BerlanjutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang