4. Warung Koran

197 31 4
                                    

Kini aku sedang berjalan menuju kelas. Mungkin karena hari kemarin sangat menakjubkan, hariku saat ini juga ikut tersambar menjadi menakjubkan. Soalnya nanti sepulang sekolah Saka akan menjemputku. Bagaimana tidak bahagia cobaa?

Tentang Saka memang itu di luar rencanaku. Karena tadinya akukan hanya menyebutnya orang asing. Cuman kini kuberi tambahan menjadi orang asing yang sempurna.

Dan kurasa, aku harus sangat berterimakasih kepada kedai kopi mas Bono karena sudah mempertemukanku dengan Saka. Aku jadi teringat dengan omongan Saka waktu di dalam metro mini waktu lalu.

"Dari situ aku ngerasa ada sebagian diri aku ada di diri kamu."

Ah, apa iya? Mungkin aku belum merasakannya, tak tahulah kalau besok kata-katamu itu kusetujui.

Dan untuk Bara, dimanapun kamu berada.

Semoga, semesta lekas mempertemukan kita. Untuk menjelaskan seperti katamu disurat itu. Antara perasaan siapa yang akan pergi dan siapa yang akan menetap.

Namun percaya, menetap atau perginya perasaanku, kau tetap pernah ada. Dan tidak akan bisa terlupa meskipun waktu telah menyingkirkanmu.

"Hai, Sastra," sapa Dita di tempat duduk.
"Hai."
"Aku mau bicara."
"Tentang?" kutanya.
"Saka. "
Aku kaget. "Baiklah."
"Kurasa, Saka suka deh sama kamu," kata Dita.
"Ah, masa?"
Dia mengangguk. "Buktinya dia ngajak jalan kamukan nanti pulang sekolah."
"Kok kamu tahu?" tanyaku.
"Taulah, kemarin aku ketemu Saka di mini market. Nih, dia titip pen buat kamu," ucap Dita sambil memberiku pen berwarna coklat.
"Emm, pen? Buat apa ya?" kutanya.
"Katanya buat jaga-jaga kalau pen kamu habis. Aneh-aneh saja Saka itu."
"Iya, Dit. Masa kemarin aku dikasih mainan bebek bebekan anak kecil yang bisa bunyi itu," kataku.
"Hah! Buat apa coba?"
"Katanya buat temen mandi. "
"Hahahah." Kami tertawa.

Sepulang sekolah aku langsung bergegas menuju halte.
"Teman teman, aku duluan ya, " kataku kepada teman teman.
Kulihat sudah ada seseorang duduk dimotor scoopy warna putih. Dan itu Saka. Ya ampun, Saka selalu bisa membuat jantungku tidak bisa berhenti berdebar ketika melihatnya.

Aku mendekatinya ke arah motor yang terlihat jarang dicuci itu.
"Saka, "
"Eh, sudah datang. Sebentar banyak debu diwajahmu." Saka mengeluarkan tisu dari tasnya. Mama, selamatkan aku dari sini. Jantungku tidak kuat lagi!

Setelah meengusapi wajahku dengan tisu ia tersenyum kearahku.
Sekarang aku yang mulai bicara.
"Saka, kamu tahukan aku ini masih kelas 10 dan masih ingusan," kataku menatap bola matanya yang indah.
"Lalu."
"Kamu nggak malu jalan sama bocah kecil ingusan kaya aku?"
"Kata siapa kamu ingusan? Enggak ada," katanya sambil meraba hidungku dengan tangannya, seperti sedang memastikan jika aku tidak ingusan.

Tapi kalian tahukan maksudku ingusan? Bukan berarti ada ingus di hidungku, tapi masih saja plin plan kalau bicara soal cinta. Dan belum terlalu dewasa untuk diajak serius.

"Terserah kamu deh, sekarang kita mau kemana?" kutanya.
Ia tampak berpikir.  "Kamu maunya kemana?"
"Keliling jakarta," jawabku.
"Jangan."
"Kenapa?"
"Jakarta itu panas, banyak debu dan asap. Lebih baik keliling hatiku saja yang sejuk dan segar."
"Ih! Saka!"

"Kamu tahu kenapa hatiku masih sejuk dan segar?"
Aku menggeleng.
"Karena ada kamu di dalamnya." dia tertawa sangat puas melihat wajahku yang tiba-tiba menjadi merah merona. Sungguh, aku ingin pulang saja kalau begini. Aku tidak ingin ya jantungku copot dari tempat asalnya hanya karena gombalan dari Saka.

Hari Masih Akan BerlanjutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang