3. Masalah Waktu dan Rasa

186 31 6
                                    

Pagi ini, setelah mendapat kiriman paket dari belitung rasanya aku tidak ingin sekolah.  Entahlah tiba-tiba jadi pemalas dan nggak fokus buat pelajaran.

Paket dari belitung itu tiba-tiba mengingatkanku pada seorang laki-laki. Bernama Bara Baswara.  Laki-laki berkulit coklat nan manis dengan hidung mancungnya.

Bersama Bara, aku rasa hidupku benar-benar nyaman dan meyakinkan. Bersama Bara juga setiap detik, menit bahkan jam kuhabiskan hanya untuk tertawa bersamanya.

Laki-laki humoris nan romantis itu kini menghilang entah kemana? Setelah lulus SMP ia pindah ke daerah belitung dan setelah setahun lamanya ia baru saja mungkin memberiku kabar dengan paket kirimannya.

Masih ada satu kalimat yang kuingat sebelum ia benar-benar pergi dari kehidupanku.

"Bara, jadi sekarang kita jauh dong, "

"Jingga, jika nanti aku jadi rumahmu, percaya deh kita bakalan ketawa sepanjang hari tanpa takut hilang dan pergi."


*******

"Tra, kamu kenapa sih?" tanya Dina.
"Nggak tahu," jawabku singkat.
"Aku tunggu ceritamu nanti." Kulihat Dina kembali fokus pada papan tulis. 

Ada apa Sastra, ayo dong fokus, fokus. Gumamku sambil memukul-mukul kepala sendiri. Otakku benar benar susah diajak berdiskusi, tubuhku rasanya seperti kursi yang sudah reot. Menulis saja sudah tak sanggup.

Akhirnya apa yang ditunggu-tunggu datang.  Ya,  bel istirahat. Sebenarnya Dita dan teman-teman yang lain mengajakku kekantin, tapi aku tidak mau. Moodku benar-benar rusak hari ini. 

Karena khawatir denganku Dina pun juga tidak ikut kekantin katanya ingin menemaniku. Padahal sudah kusuruh untuk ikut dengan yang lain karena aku tahu sebenarnya dia juga lapar.

"Tra, kamu kenapa sih, cerita dong sama aku," katanya menghadap ke arahku.
"Nggak tahu, tiba-tiba setelah mendapat paket dari belitung moodku langsung rusak, " jelasku.
"Belitung? Dari Bara?"
"Entahlah, sampai sekarang aku belum berani membukanya,"
"Ya ampun. Setelah setahun ngilang, dia baru ngasih kamu paket sekarang?"
Aku hanya mengangguk. "Aku takut buat buka paket nya, "
"Kenapa?"
"Takut kalau Bara benar-benar pergi, " kataku murung.

Setelah kepergiannya dan sampai sekarang, aku masih belum bisa lupa dengannya. Bara terlalu istimewa untuk dilupa. Teringat waktu masih SMP. Bara selalu mengajakku ke pantai untuk menyaksikan sesuatu yang indah seperti diriku katanya.

Ya, dia menyukai senja. Karena itu pula Bara mempunyai panggilan khusus untukku yaitu Jingga. Katanya biar indah seperti senja. Bara juga tidak memperbolehkan seseorang memanggilku Jingga selain dia. Katanya Jingga hanya miliknya.

*****

Sepulang sekolah aku lekas buru-buru pulang. Sengaja tidak naik metro mini karena menghindar bertemu Saka. Tak tahu kenapa rasanya sedang tidak ingin bertemu dengan Saka. Ya meskipun aku sedikit geer. Karena kan belum tentu juga Saka naik metro mini seperti minggu kemarin.

Sesampainya dirumah aku langsung menuju kamar. Sepertinya bibi sedang tidak dirumah. Setelah masuk ke dalam kamar,  aku langsung mengambil bingkisan berwarna jingga di atas meja belajarku.

"Kenapa jadi deg - deg an gini."

Sesekali aku membuang napas dengan kasar sebelum akhirnya kubuka bingkisan kecil itu dengan perlahan.

Hari Masih Akan BerlanjutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang