2. Hidup Bukan Cuma Bahagia

237 34 1
                                    

"Kamu putus sama ketua osis itu Vi?" tanya Dita heboh.
Sedangkan Via hanya menjawab dengan santai. "Iya, emang kenapa sih, bosen jugalah, " katanya.
Kini giliranku berbicara. "Tapi kamu tahukan dia itu baik banget, kenapa tiba-tiba kamu putusin, dia salah apa coba?"
"Nggak salah apa-apa. Aku itu cuma bosen, "
"Gila ya kamu," cetus Dita yang kelihatannya sedikit kecewa dengan Via.

Aku juga bingung dengan Via, padahal kak Raga, ketua osis itu hatinya baik banget, pinter, tampan pula, tapi Via malah bilang bosen. Cuma gara-gara bosen dia mutusin orang yang terkenal di sekolahan itu.

Ya memang sih tidak ada yang bisa disalahkan di sini. Karena hati memang gampang berubah ubah, dan kita nggak pernah tahu kapan hati itu berubah.

Bel masuk berbunyi, Via keluar dari kelasku dan menuju kelasnya. Sedangkan aku dan Dita langsung menyiapkan buku dan alat tulis sebelum guru datang. 

"Sastra, aku pengen ngopi nih di kedainya bang bono,"

Jadi ingat waktu pertama kali lihat si mahluk asing itu.

Sudah Satu bulan lebih aku tidak bertemu ,dimana ya dia sekarang?
Sastra, apa-apaan sih kamu.

"Malah bengong, pasti ingat sama Saka ya," ucap Dita seakan akan membaca pikiranku.
"Enggak tuh, " jawabku. Padahal sih iya.

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku langsung menuju halte depan sekolah. Tak lama kemudian metro mini yang kutunggu lewat.

Biasanya aku duduk sendiri, atau dengan ibu-ibu yang pulang dari pasar. Tapi kali ini hanya ada satu tempat duduk yang kosong, dan laki-laki berbaju SMA. Dengan terpaksa aku langsung saja duduk di sebelahnya.  Waktu ku tengok:

"Sastra,"
"Saka!"
"Pasti kamu kaget ya ada aku di sini, "
Masih tanya aja, ya iyalah kaget. Orang kamunya aja ngilang satu bulan terus tiba-tiba ada di samping aku.
"Kok kamu bisa ada di sini?"tanyaku.
"Iya, soalnya aku rindu pengen ketemu kamu,"
Tenggorokanku terasa tercekat, mulutku membisu, tubuhku kaku. Ya Tuhan, ada apa ini?

"Kok aku?"tanyaku gugup. Sastra pertanyaan apa yang kamu ucapkan?berhenti untuk berpikir yang enggak-enggak Sastra.

Arah duduknya berubah menjadi menghadapku. Mataku menemukan mata indahnya lagi yang saat ini sedang membuatku sangat gugup. Rasanya pengen banget turun dari metro mini ini.

"Sastra, kamu tahukan? Sejak pertama kali aku lihat kamu di kedai kopi itu dan saat aku ngaterin kamu pulang juga saat kita ketemu di mall, aku selalu bilang kita harus ketemu lagi, kamu ingat?"
Aku mengangguk. "iya,"
"Dari situ aku ngerasa ada sebagian diri aku di diri kamu," jelasnya dengan menatapku.
"Saka, kamu ngomong apa sih?" tanyaku yang tidak mengerti apa yang Saka maksud. Semesta, tolong jangan memperumit pertemuan ini.
"Sudahlah, intinya aku pengen ketemu kamu, itu aja,"
Jawabanya selalu membuatku bingung. Aku benar-benar merasa bodoh jika sedang berbicara dengan Saka.

Dengan percakapan di dalam metro mini terasa mempercepat jarak antara rumah dengan sekolahan. Aku turun dari metro mini, Saka pun begitu. Tak tahu apa yang akan dia lakukan setelah ini.

Aku berjalan duluan sedangkan dia membuntutiku. Ah!  Aku lupa, aku kan ingin menanyakan sekolahannya.

Aku lantas menengok kebelakang. Kulihat dia berjalan menunduk sambil sesekali menendang batu yang menghalangi jalannya.
"Saka, " panggilku setengah gengsi.
"Iya, ada apa?" tanyanya dengan mensejajarkan langkahnya denganku.
"Kamu sekolah dimana?" tanyaku.
"Di sekolah yang menurutku lebih baik dari sekolahmu, " jawabnya tersenyum jahil kearahku.
"Jadi, menurutmu sekolahanku jelek?" tanyaku tak tinggal diam.
Dia hanya menggeleng masih dengan senyum jahilnya itu yang tiba-tiba menyeretku untuk juga ikut tersenyum.
"Kelas berapa?"
"12," jawabnya cepat sekaligus membuatku kaget. Ternyata dia lebih tua dua tahun dariku. "Kenapa?" tanyanya.
Aku menggeleng.

Hari Masih Akan BerlanjutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang