Aku hanya ingin bahagia. Apa sesulit itu untukku bahagia? Bagaimana standar bahagia yang harus aku raih agar rasa sakit ini hilang?-Perawat Sangpotirat
.
.
.Krist merebahkan dirinya di tempat tidur setelah selesai berganti pakaian, mengabaikan Singto yang sedang membaca buku di sisi lain tempat tidur.
"Apa kau ingin tidur? Aku akan mematikan lampunya kalau begitu" ucap Singto, tapi Krist sama sekali tidak menjawab, dia justru mengubah posisinya memunggungi Singto. Singto paham Krist pasti terkejut, tapi bagi Singto pun ini merupakan ciuman pertamanya setelah 900 tahun. Singto pun meletakkan bukunya dan mematikan lampu kamar, bersiap untuk tidur.
Jam menunjukkan pukul 02.00, tapi Singto sama sekali tidak bisa tidur. Dari tadi dia hanya memandangi punggung Krist, sesekali ingin menyentuhnya tetapi niat itu diurungkannya. Berada sedekat ini dengan Krist saja sudah cukup bagi Singto, dia tidak ingin Krist tidak nyaman dan menjauhinya.
"Perawat, aku tahu itu kau. Saat pertama kita bertemu di danau itu aku sudah tahu itu kau, wajah, suara, bahkan sifatmu tidak berubah sama sekali. Meskipun sekarang kau tidak mengingatku, aku tetap akan menunggumu sampai ingatanmu kembali, seperti kata penyihir itu...."
Perlahan Krist membuka matanya, entah mengapa hatinya terasa sakit mendengar ucapan Singto, seperti memahami rasa sakit yang dipendam Singto."Perawat, apa kau tau, aku sangat, sangat merindukanmu. Selama ini aku mencarimu di seluruh dunia, tapi siapa sangka kau akan kembali di danau itu, tempat terakhir aku menaburkan abumu. Kau tau, betapa bahagianya saat aku melihatmu. Aku bersyukur, kau kembali lagi..."
Tanpa sadar air mata Singto menetes, tetapi senyuman mengembang di bibirnya. Semua perasaan bercampur aduk di hatinya. Dan Krist hanya mendengar suara tangis Singto, ingin dia menenangkan pria itu, tapi jika tiba-tiba dia berbalik maka dia akan ketahuan tidak tidur dan mendengarkan semua kata-kata Singto barusan. Krist menutup kembali matanya dan berbalik ke arah Singto perlahan, kemudian memeluk Singto seolah-olah Krist tidak sadar. Singto pun membalas memeluk Krist, dan menangis pelan dalam pelukan orang yang sangat dirindukannya itu, menghirup dalam-dalam aroma tubuh Krist, menyimpan semua aroma itu dalam ingatannya.
.
.
.
.
Pukul 9 pagi, Krist membuka matanya. Dia terkejut, karena Singto tidak ada disampingnya.
"P'Singto!" Panggil Krist tapi tidak ada jawaban. Krist mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, dan didapati secarik kertas dan segelas susu hangat diatas meja disebelah tempat tidur itu.
Jangan lupa diminum. Aku pergi bekerja dulu, kalau kau ingin mencariku atau butuh bantuan ku hubungi nomor ini. Beritahu aku kalau kau ingin makan sesuatu, aku akan membelikannya pulang kerja nanti
Krist mengambil handphonenya dan menyimpan nomor itu, tak lupa meminum susu hangat yang sudah Singto persiapkan.
P'Singto, aku pulang sekarang. Kau tak perlu membelikanku apapun. Terimakasih untuk semuanya. Krist
Tulis Krist singkat, kemudian mengirim pesan itu ke handphone Singto. Setelah berganti pakaian, Krist menghubungi Tae untuk menjemputnya. Tak lama kemudian Tae datang. Tanpa basa-basi Krist langsung masuk ke dalam mobil.
"Apa tidur anda nyenyak semalam tuan?" Tanya Tae memulai percakapan, tetapi Krist tidak menjawab. Dia masih memikirkan kata-kata Singto semalam. Abunya? Apakah dia pernah meninggal sebelumnya? Kalau begitu sudah selama apa Singto hidup? Dan apa rahasia awet mudanya? Mengapa dia terlihat seperti berumur 25 tahun? Apa hubungannya dengan Singto di masa lalu? Semua pertanyaan itu berputar-putar di kepala Krist seolah meminta jawaban. Tae hanya memandang Krist, sebelum kembali fokus dengan jalan raya. Entah apa yang dipikirkan Tae, tapi dia terlihat sangat tidak senang.
.
.
.
.
"Sing! Antar ke meja 5" perintah New, tetapi Singto sama sekali tidak menjawab, dan malah asyik menatap handphone nya sambil tersenyum melihat pesan yang dikirim Krist padanya.
"Baby, kau saja yang antar. Sepertinya Singto sedang kasmaran" goda Tay. Singto pun tersadar, kemudian mengambil nampan yang dipegang New dan mengantar minuman itu.
"Jadi, siapa dia Sing?" Tanya Tay begitu Singto kembali.
"Tidak ada phi" elak Singto, tapi senyumannya tidak memudar dari tadi membuat Tay dan New semakin penasaran."Jujur saja. Ini hanya diantara kita bertiga. Apa dia cantik?" Tanya New yang juga penasaran, karena selama New mengenal Singto, baru kali ini dia terlihat sangat bahagia. Singto menghela nafas pelan, percuma juga menyembunyikan rahasia dari mereka berdua, apalagi New yang sangat mengenal Singto.
"Baiklah. Dia sangat cantik, jauh lebih cantik dari P'New" jawab Singto sambil berlalu meninggalkan Tay dan New yang saling memandang kebingungan.
"Singto" interupsi New. Saat ini hanya ada mereka berdua karena Tay sedang pergi ke toilet.
"Jujur padaku. Apa dia orang yang kau cari?"
Singto menghentikan kegiatan membuat kopinya, kemudian menghadap New sambil tersenyum."Iya phi. Setelah sekian lama aku mencarinya akhirnya dia kembali- Auch!" Seru Singto, karena tangannya tak sengaja tersiram air panas. Singto dan New terkejut, biasanya Singto tak akan terluka jika tersiram air panas seperti ini. Dengan sigap New membawa Singto menuju toilet untuk membersihkan luka di tangan Singto. Tay yang tak sengaja melihat pun ikut panik dan membantu kekasihnya.
"Bagaimana bisa kau tersiram air panas Sing? Biasanya ini tak pernah terjadi" tanya Tay, yang tentu saja tidak tahu kalau sebenarnya Singto sudah sering tersiram air panas, hanya saja kutukannya membuat Singto tak merasakan apapun saat tersiram.
"Entahlah. Ssshhhh, phi pelan-pelan, rasanya sakit sekali" protes Singto saat Tay mengoleskan obat di tangannya sebelum membalutnya dengan perban.
"Kau ini seperti anak kecil saja. Sudah selesai! Lain kali kau harus hati-hati kalau bekerja, kau tak lihat si rakus itu seperti ingin menangis melihatmu terluka padahal kekasihnya ada disini" ucap Tay, antara kesal dan kasihan melihat kekasihnya yang lebih khawatir dengan Singto daripada dirinya.
"Tay, maaf, aku hanya panik. Maafkan aku ya" ucap New sambil memeluk Tay.
"Baik baik. Tapi lain kali kau harus lebih peduli padaku, atau aku harus menyiram tanganku dengan air panas supaya kau peduli?" Ucap Tay setengah kesal.
"Jangan bodoh, nanti ku siram kedua tanganmu kalau kau coba melakukannya. Ayo kita kembali, pelanggan kita menunggu" ucap New sambil menarik Tay keluar. Sementara Singto hanya terdiam menatap balutan perban di tangannya dengan bingung, kenapa dia bisa merasakan sakit sementara selama ini dia bahkan mencoba bunuh diri, tapi semua usahanya gagal karena bagaimanapun dia mencoba dia tak bisa merasakan sakit dan terluka secara fisik. Tiba-tiba dia teringat kutukannya, yang akan hilang jika dia bertemu belahan jiwanya kembali. Apa ini adalah salah satu pertanda jika kutukannya telah terangkat? Apa ini artinya waktunya tak lama lagi, dan apa tubuhnya juga akan menua mengikuti usia aslinya? Tetapi dia baru saja bertemu dengan Krist, tidak bisakah dia mengulur waktu sedikit lebih lama supaya dia bisa melihat Krist bahagia? Setitik air mata Singto jatuh, dengan erat Singto mengepalkan tangannya, tak peduli rasa sakit menjalar dari tangannya.
"Kumohon Dewa, izinkan aku membahagiakan Perawat sebelum aku pergi"
~Part 4 end~

KAMU SEDANG MEMBACA
[KristSingto AU] When We Meet At The Full Moon [End] [1]
FantasiSingto Prachaya, seorang manusia yang mendapat kutukan hidup abadi berusaha mencari 'kekasih'nya yang hilang 900 tahun lalu. Krist Perawat, seorang remaja yang tidak pernah menemukan kebahagiaan di hidupnya. Bagaimana jika kedua orang ini terikat ol...