VII

29 6 0
                                    

Kau takkan ingin gagal.

Sekali lagi, kalimat itu terngiang di kepala Ezra. Jam menunjukkan pukul tiga dini hari, tetapi ia belum juga beristirahat. Rasa kantuknya mendadak hilang saat tengah malam tadi setelah memforsir teman-temannya untuk bermalam di rumahnya daripada pulang. Hanya Reijess yang tidak di sana, selain untuk mengurus barang bawaan mereka ia juga harus membersihkan rumahnya.

"Sudah kuduga kau ada di sini."

Seseorang tiba-tiba menghampirinya. Ezra menoleh, menyadari bahwa Leonar terbangun dan kini duduk di sampingnya—entah terbangun karena haus, lapar, teringat misi, mimpi buruk, atau karena sofa rumahnya terlalu keras.

Masih dengan mata setengah terbuka pria itu berujar, "Kukira tadi aku salah lihat."

"Tidak ada hantu di sini," balas Ezra.

"Kenapa kau tidak pernah tidur setiap kita akan pergi?"

"Entahlah." Ezra menggeleng pelan. "Sebenarnya aku juga ingin tidur, tapi tak sampai setengah jam aku pasti terbangun. Entah mengapa rasanya aku harus siap ketika tahu musuh bergerak."

"Tidurlah sebentar, aku akan menggantikanmu."

Ezra menurut rupanya. Ia menyerahkan ponselnya pada Leonar untuk berjaga-jaga. Mereka masuk dan berpisah di ruang tamu, Ezra ke kamar sementara Leonar pergi ke dapur untuk membuat kopi. Pukul empat kurang lebih, Winston menghubungi. Leonar segera menerima panggilan tersebut begitu ponsel Ezra bergetar.

"Ini Leonar," ujarnya.

"Weymund bergerak. Akan kukirimkan lokasinya. Kalian harus tiba di sana pada pukul lima."

Panggilan berakhir. Leonar menghubungi Reijess dengan ponselnya selagi membaca isi pesan Winston.

"Kita berangkat sekarang. Temui aku di Allison Alley."

Ia beranjak untuk membangunkan mereka semua, tidak terburu tetapi juga tidak memberi mereka waktu untuk mengumpulkan nyawa. Sesuai yang ia katakan pada Reijess tadi, mereka bertemu di Allison Alley—wilayah industri dimana banyak gudang dan bangunan kosong. Normalnya waktu berkendara yang dibutuhkan dari pusat kota adalah 90 menit, tapi Leonar tak ragu menjadikannya 30 menit saja. Mereka sepertinya tiba lebih dulu daripada Weymund, Reijess pun tiba tak lama kemudian. Segera menyiapkan senjata dan bersiaga, mereka perlahan mendekati sebuah gudang kosong bercat merah.

Saat itu kira-kira pukul lima lebih tiga puluh menit pagi, langit mulai terang namun berkabut. Terdapat beberapa mobil yang terparkir di depan gudang, jadi mereka mengasumsikan akan menjumpai banyak orang. Memang benar rupanya, namun minus Weymund dan Danish.

"Mereka tidak di sini," ujar Dirga melalui alat komunikasi mereka.

"Kita masuk," perintah Ezra walau entah akan menghadapi siapa.

"Siapa di sana?!" teriak salah satu pria ketika menyadari kehadiran orang lain, sayangnya cahaya remang dan kabut menutupi mereka.

Ezra dan yang lainnya bersembunyi di balik rak-rak tinggi, menunggu aba-aba untuk menembak. Baru saja Ezra akan memberi aba-aba, mereka lebih dulu ditembaki. Mau tak mau mereka pun membalas tembakan tersebut sambil perlahan mendekati sekumpulan pria itu.

"Hei, haruskah kuledakkan gudang ini?" Reijess yang bersiaga di luar—di atas bangunan lain—berujar.

"Tidak selama kami masih berada di sini," balas Ezra.

"Tembaki saja mereka, bodoh! Jangan menghancurkan barang bukti jika ada. Aku tak dapat melihat lebih jauh," sambung Ayldina.

"Dirga, ke sana!" tutur wanita itu lagi.

One man one bullet. Reijess mulai menembaki sekumpulan pria itu dan memberikan akses pada Dirga dan Ayldina untuk mendekati sebuah meja yang ada di sana.

"Ups, maaf aku meleset!" Leonar berseru ketika hampir menembak Dirga.

"Astaga, aku tak dapat melihat sudut bangunan!" Ligia bersuara. "Rei, apa ada orang lain di sana?"

"Nope! All clear!"

"Oke, berhenti menembak!" arah Ezra. Ia menyalakan senter kecil yang dibawanya karena kabut semakin menebal seiring pagi yang terbangun.

"Apa cuma aku yang berpikir ruangan itu berasap?" tanya Reijess yang beranjak turun.

"Berasap?" balas Ligia. "Bagaimana kabut di luar?"

"Masih tebal, sih."

"Ay, bagaimana?" panggil Ezra yang coba memeriksa sisi lain bangunan. "Mendapatkan sesuatu?"

"Ah, ini hanya dokumen tidak penting berisi pembagian gaji mereka. Kurasa mereka bukan orang-orang Weymund atau Danish," wanita itu menyahut.

Pernyataan itu segera ditolak Dirga. "Tidak. Kurasa mereka memang orang-orang Weymund. Tapi di mana pria itu? Bukankah Winston bilang Weymund bergerak?"

"Winston memasang GPS?" tanya Leonar.

"Mungkin, dan mungkin memasangnya di mobil milik Weymund—atau Danish."

Ayldina menyergah, "Lalu mengapa mobil itu yang mereka gunakan? Maksudku, jika orang-orang ini bukan orang penting, mengapa mereka harus menggunakan mobil dengan GPS?"

Ligia menautkan alis. "Winston memasang GPS di setiap mobil?"

"Bisa jadi juga," sahut Ezra yang mendengarkan sedari tadi.

"Hey guys!" panggil Reijess. "Winston menelepon!"

Perhatian mereka teralih, begitu pun dengan Ezra yang berlari kembali. Reijess menyerahkan ponselnya pada Ezra kemudian.

"Mereka tidak di sini," tuturnya.

"Tentu saja takkan secepat itu. Well, aku juga tertipu," balas Winston. "Kali ini serius, Weymund sedang dalam perjalanan menuju Beijing."

***

The Road Runner [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang