Dunia Baru

59 21 13
                                    

Nyatanya, menjadi berbeda tidak selamanya menyenangkan.
.

.

.


Fumi mengenal kalimat kutukan itu ketika usianya menginjak  angka lima belas. Di saat ia tengah berapi-api meniti mimpinya sebagai seorang pianis, disaat ia tengah mempersiapkan segala sesuatu untuk mimpinya yang besar itu. Disaat itulah sebuah kecelakaan terjadi.

Kecelakaan yang merenggut semua miliknya; mimpi, angan, cita-cita, ayah, bahkan hidupnya.

Mungkin bisa dibilang Fumi Kim saat itu telah mati. Gugur bersama seluruh mimpi dan harapannya dalam butiran abu sang ayah yang di tebar ibu di laut kampung halamannya.

Tidak ada yang bisa diharapkan lagi dari seorang Fumi. Tidak sedikit pun. Semua yang dia harapkan mengerti, menolaknya mentah-mentah.

“Tunggu, Kakak mengeluarkanku dari tim?”

"Sorry, Fum. Ini keputusan tim.”

Fumi mengejar Henry yang berusaha keluar dari ruang latihan seni.

“Kenapa? Karena sekarang aku tuli? Kalian mengeluarkan aku karena aku tuli?”

“Fumi—“

“Kak, aku memakai ini.” Fumi memegang alat bantu dengarnya yang kini terpasang di telinga, “Aku bahkan bisa mendengar kakak dengan baik. Jadi bagaimana bisa kakak mengeluarkanku karena—“

“Kenyataannya sekarang kamu berbeda!”

Fumi mematung begitu suara tinggi Henry memutus kalimatnya. Henry tidak pernah membentaknya. Sekali pun, tidak.

“Kumohon.” Henry meraih satu pundak Fumi, “Ini bukan keputusanku seorang. Kamu tau sendiri bagaimana mereka setelah hari itu terjadi. Aku tau ini berat, tapi—“

Fumi menepis tangan Henry dengan kasar. Seulas senyum menyusul tercetak di bibirnya; sebuah senyuman palsu.

“Aku memang berbeda, Kak. Aku tau.”

Tim musik mengeluarkannya, teman-teman mengucilkannya, semua yang dulu berada dalam genggaman Fumi seakan-akan merembes jatuh melalui sela-sela jari yang kecil. Sedikit, namun pasti. Mereka semua lenyap. Menghilang, dan menyisakan Fumi seorang diri.

Tenggelam dalam kegelapan kemudian hanyut dalam kesunyian.

..

STACCATTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang