“Dalam kegelapan dunia, aku menemukan satu titik cahaya.
Begitu kecil dan redup, tapi mampu menuntunku kepada sesuatu yang telah lama aku tinggalkan.”
..
.
Karena kejadian di hari itu, Fumi mengucilkan diri hampir tiga tahun lamanya. Bersembunyi di dalam sebuah dunia kecil yang penuh akan kesunyiaan dan kegelapan. Bahkan ibunya saja sulit untuk melangkah masuk dalam dunia tesebut.
Berkali-kali ia membujuk Fumi untuk keluar dari penjara kecil yang mengurungnya itu, tapi hasilnya selalu sama; nihil. Fumi telah menjadi seseorang yang benar-benar berbeda disana. Tidak ada Fumi yang ceria, tidak ada Fumi yang selalu tersenyum, tidak ada Fumi yang selalu semangat memainkan piano. Yang tersisa hanyalah Fumi si pendiam, Fumi yang murung, dan Fumi yang membenci piano.
“Fumi, kemarin ibu dapat tiket konsernya Yiruma. Mau pergi bersama?”
Untuk sepersekian detik, Ibu Fumi merasakan jantungnya yang berdetak berlebihan mungkin akan lepas saat itu juga. Membujuk Fumi untuk kembali pada Fumi yang dulu itu perkara sulit. Pernah sekali ia melakukan hal yang sama seperti hari ini. Tapi hasilnya, Fumi berontak. Semua barang yang ada di hadapannya ia lempar tanpa kendali.
Ibunya prihatin. Harapan ia agar Fumi kembali menjadi Fumi yang ceria dan penuh senyuman sangat besar. Ia tidak ingin Fumi hancur dan tenggelam begitu saja akibat kecelakaan tersebut. Karena Fumi adalah satu-satunya putri kebanggaan yang menjadi semangat hidupnya. Hanya Fumi, Fumi seorang.
“Ibu pergi saja dengan tante Rua. Aku ingin di rumah.”
“Tapi Fumi,—“
Belum sempat sang Ibu menyelesaikan, Fumi memilih untuk melepas alat bantu dengarnya. Melempar lemah benda kecil itu di atas permukaan meja, Fumi kemudian kembali sibuk dengan buku catatannya.
Sekali lagi usahanya gagal. Fumi telah menutup rapat-rapat dirinya pada sesuatu yang berhubungan dengan musik, terlebih lagi piano.
Akan tetapi, ada satu hal yang tidak disadari oleh sang ibu belakangan ini. Seseorang telah berhasil membuka kembali pintu yang tertutup itu. Pintu yang tertutup hampir tiga tahun lamanya, kini perlahan mulai terbuka. Sedikit demi sedikit.
“Fumi?”
Fumi yang semula terpatung kemudian menoleh begitu pundaknya di tepuk seseorang. “Oh, Kak Eunwoo.”
“Kamu nggak apa-apa?”
Alih-alih menjawab, Fumi justru beranjak meraih tasnya yang tadi di tendang laki-laki bertato. Mengaduk seluruh isi tasnya yang berantakan, ia lantas memasangkan sebuah benda kecil berbentuk earphone tanpa tali di telinganya.
“Tadi kakak ngomong apa?”
Eunwoo menghela napas. Rupanya Fumi tidak memasang alat bantu dengarnya, “Engga, kamu tadi duduk di lantai. Kenapa?”
Fumi mengulang reka adegan kejadian tadi di kepalanya. Ketika hujan turun, stasiun ramai, dan ia menabrak seseorang.
“Oh, tadi aku nabrak orang terus jatuh. Nggak apa-apa kok, Kak. Kita berangkat sekarang kan?” Fumi menilik jam digital yang melingkar di pergelangan tangannya. “Kayaknya sih bakal terlambat beberapa menit. Yuk!”
Eunwoo tersenyum mengiyakan ajakan Fumi kemudian masuk kedalam gerbong kereta. Fumi berbohong, Eunwoo tau. Sehebat apapun Fumi menyembunyikannya, Eunwoo dapat melihat itu.
“Fum, tadi kamu berangkat dari rumah?”
Fumi memutar badannya cepat, “Eung, iya. Emang kenapa? Tadi kakak ke rumah dulu?”
“Engga sih. Tumben aja kamu nggak pakai itu dari rumah.”
Fumi terkekeh pelan. “Oh, ini. Tadi aku buru-buru. Kesiangan bangunnya, takut ditinggalin sama kakak.”
“Ck, ada-ada aja kamu," balas Eunwoo ikut terkekeh.
“Tapi baju kamu, itu berantakan bukan karena buru-buru kan?”
Refleks, Fumi langsung memeriksa blouse putih yang di kenakannya. Benar, ia lupa membetulkannya. Apakah sekentara itu?
“Oh ini?” Sambil tergagap, Fumi merapihkan bajunya cepat-cepat. Pinggang, lengan, kerah, rambutnya juga.
“Kamu diapain?”
“Eh?” Fumi terkejut. Matanya membulat menatap Eunwoo. Kenapa Kak Eunwoo bertanya begitu? Apa dia melihat kejadian tadi?
Seakan mampu membaca pikiran Fumi, Eunwoo membuka mulutnya kembali. “Aku nggak liat apa-apa tadi. Tapi,” Eunwoo mendorong pelan punggung Fumi kedepan. Tak lama, telapak tangannya yang besar itu mulai membelai punggung Fumi yang terbalut blouse putih.
“Kak Eunwoo!” Fumi buru-buru berdiri dari kursinya. Memandang kesal pada Eunwoo yang tampak kebingungan dari tempatnya.
“Apa sih? Baju kamu tuh kotor. Mana putih lagi, keliatan banget.”
Eunwoo diam-diam memperhatikan sekitar. Jatungnya berdebar tak karuan karena seruan Fumi tadi. Bisa-bisanya dia merespon Eunwoo seperti itu. Orang lain kan bisa salah paham mengira Eunwoo mesum.
“Masa iya?”
Fumi melirik orang-orang di sekeliling yang menatap Fumi dan Eunwoo penasaran. Tak lama, Fumi kembali duduk dan berbisik pada Eunwoo, “Bisa hilang nggak kak?”
Eunwoo terkekeh sambil mengusap lagi punggung blouse putih Fumi. "Kamu membuatku terlihat seperti orang mesum tau."
Fumi ikut terkekeh, tapi lebih pelan dari Eunwoo. "Maaf."
Eunwoo mengiyakan tanpa suara. Terkadang tingkah Fumi itu berlebihan dan membuat Eunwoo tak habis pikir.
“Kayaknya ini nggak bisa hilang deh. Kamu diapain sih emang?”
Belum sempat Eunwoo mendapatkan jawaban dari Fumi, gadis itu tiba-tiba berdiri dan menarik tangan Eunwoo.
“Eh kak, stasiunnya udah deket. Ayo siap-siap!”
..

KAMU SEDANG MEMBACA
STACCATTO
Teen FictionKesunyian merenggut paksa dunia Fumi yang semula penuh akan melodi. Mengurungnya seorang diri dalam jurang keputusasaan, sampai tiba saat patahan nada menariknya sedikit demi sedikit ke atas permukaan. Menuntun Fumi kembali pada eksistensi dirinya y...