"Apapun yang terjadi, jika mereka tiba di dekatmu, jangan pernah mengeluarkan suara. Jangan buka mata. Mengerti?"
Suara penuh peringatan itu terus menggema. Tidak pernah lenyap meski hanya sedetik. Desa sesunyi tanpa penghuni meski aku tau masih ada yang bertahan. Beberapa. Iblis pengintai jiwa terus berdatangan. Satu persatu penduduk mati. Jangan tanyakan bagaimana cara mereka menjadikan kami sebagai makanannya. Kami memang diajarkan untuk tetap diam dan menutup mata apapun yang terjadi. Meski iblis melahap salah satu dari kami tepat di depan mata, tapi kami harus diam. Tidak membuka suara. Tidak membuka mata. Menahan gigil ngeri saat seseorang yang kau kenal menjadi salah satu santapan para iblis laknat.
Siang waktu yang aman. Kami mengumpulkan segala keperluan bertahan hidup. Para iblis mengintai sepanjang malam hingga fajar. Waktu paling menguras tenaga dan emosi. Menyengatkan teror yang tiada habisnya.
Seperti halnya semua penduduk yang tersisa. Aku juga pernah mengalami hal serupa. Membiarkan kematian terjadi dihadapan mata. Saat itu hanya kami bertiga yang tersisa. Kakak lelaki dan adik perempuanku. Malam tiba. Mencengkram kami dalam teror yang tiada habisnya. Senja masih berjalan lambat dimana para iblis bersiap. Mengintai saat malam. Memburu yang masih bertahan. Saat itu, Kakakku sudah menutup semua pintu. Memberi isyarat agar kami tidak berisik. Sekali lagi memperingatkan. Tidak ada yang terjadi sampai dua iblis datang. Sekuat tenaga menutup mulut. Memejamkan mata. Suara kedua orangtuaku bergema keras. Jangan buka mata jangan bersuara. Dan ku lakukan itu hingga.... adikku bersin. Saat itu refleks mataku terbuka, namun yang ku dapati hanya gulita. Sebuah tangan besar menutup mataku secepat mungkin. Menyisakan jeritan pilu dari mulut adikku. Aku menggigil. Membenci diri saat adikku mati dihadapanku dan kami tidak bisa melakukan apapun. Pesan orangtuaku masih teringat jelas. Apapun yang terjadi kami harus bertahan hidup. Teror terhenti kala fajar tiba. Menyisakan darah tak jauh dari tempatku berdiri. Kakakku berdiam diri. Tertunduk lemas. Menatapi bercak darah yang masih segar. Kami kehilangan satu anggota keluarga. Lagi. Tidak ada yang bisa disalahkan. Ini kesalahan kami. Kami tidak terlalu kuat sehingga membiarkan kejadian ini terjadi. Aku berdiam diri. Berusaha melupakan kejadian semalam meski rasanya begitu menyiksa. Adikku mati dihadapan mata dan aku tidak bisa melakukan apapun. Menyedihkan. Namun aku tau. Kakakku yang paling menderita. Dia mungkin bersikap tegar tapi semuanya hanya kebohongan semata saat mata kami bertemu. Dia tersiksa.
Mentari bersinar terang. Memerangkap iblis pada sarangnya. Memaksa mereka berdiam diri. Kata para pendahulu, iblis yang meneror kami adalah sekumpulan iblis buta. Itulah kenapa mereka sangat peka pada suara. Lalu kenapa kami harus menutup mata saat mereka tiba? Dikisahkan, karena iri dengki iblis atas penglihatan manusia, mereka bisa merasakan cahaya menelusup mata kala mendapati tatapan mata manusia. Mereka menjadikan manusia sebagai makanan hanya karena iri dengki? Apa memang iblis selalu selaknat itu hingga Sang Pencipta mengusir mereka?
Bulir air membasahi lantai. Kakakku masih terus menyiramkan air pada lantai. Sebentar lagi senja. Dia tengah bersiap. Mempersiapkan segala sesuatu agar setidaknya nyawa kami terselamatkan malam ini. Dalam hela napas aku bergerak mendekat, namun secepat kilat berhenti saat sebelah tangannya terangkat. Memberi isyarat agar aku menjauh. Mengerti. Ada yang bergerak. Sial. Waktu semakin sempit dan kakakku belum selesai. Menahan diri. Waktu berjalan secepat pusara angin. Temaram tiba. Keciprat air masih terdengar bersamaan dengan langkah tergesa. Dia menyeretku masuk ke dalam kamar. Sebelah tangannya cekatan memyumpalkan kain pada mulutku. Aku mengerjap. Tidak mengerti. Namun tetap diam saat sorot mata penuh peringatan menhhujamku. Sebelah tangannya kembali bergerak. Entah mengambil apa dari balik saku jaket.
"Dengarkan kakak, apapun yang terjadi malam ini, ingat selalu pesan ayah dan ibu. Jangan lepaskan penyumpalnya dan jangan pernah buka mata" sebelum sempat aku memprotes satu ucapannya, gaung tanda hari aman berakhir. Menjadi pengingat bagi kami yang masih bertahan hidup. Kesadaran hilang tenggelam tatkala sebelah tangannya terangkat. Melakukan gerakan seolah mencipratkan sesuatu dan setelahnya kesadaranku hilang.
Aku tidak tau apa yang terjadi. Gelap. Tak ada cahaya yang dapat ditangkap retina mata. Seolah kegelapan melahap habis semua cahaya. Sayup telinga mendengar sebuah suara. Dengung bunyi syair kuno yang hanya diketahui segelintir orang. Syair pemanggil para utusan suci. Mata kembali mengerjap. Aku mencari-cari, namun tak mendapatkan penutup apapun yang menutupi mata. Lalu... kenapa gelap sekali? Kesadaran mendatangiku secepat kilat tatkala di tengah lantunan syair kuno dapat kudengar desis pilu menahan sakit. Oh tidak! Itu suara kakakku. Merangkak. Aku masih bisa bergerak. Menggapai tali yang dipersiapkan kakak sejak lama. Mencari hingga menemukan tali menuju ruang bawah. Merangkak tanpa menghasilkan suara. Aku bergerak. Alunan syair kuno masih berkumandang sementara dapat ku rasakan gemetar menahan pedih. Kedua tanganku bergerak---.
"Jangan berani mendekat An!" Suara itu syarat akan ancaman. Membuatku membatu. Desisan sakit kembali terdengar. Sesuatu yang basah dan anyir menerpa wajah. Sukses membuat seluruh tubuhku gemetar. Menggigil. Hanya satu kemungkinan. Kakakku sengaja mengorbankan diri demi memanggil para utusan suci. Suaraku tidak bisa keluar saat jerit tertahan mengudara. Tangan menggapai-gapai hanya untuk menemui kekosongan. Suaranya semakin memilukan. Mereka menyiksa kakakku! Suaranya teredam dan tertarik. Nyawanya seolah dipermainkan. Teror semakin menguasai. Gigil ngeri tak bisa ku tahan. Tapi suara itu kembali terdengar.
"Diam An. Maaf... kakak terpaksa membuat kedua matamu buta... hiduplah. Sebentar lagi utusan suci tiba---"
Suara itu lirih. Begitu lirih. Membuatku semakin sesak napas. Pagi masih enggan tiba. Suara kratak tulang patah semakin membuat telingaku berdengung. Aku ingin berteriak kencang namun suaraku hilang. Kakak sengaja melakukan semua ini. Memaksaku buta. Memaksa suaraku tidak terdengar. Jerit pilu masih terdengar bahkan hingga bunyi peringatan kembali berdenging. Sudah pagi. Para iblis itu lenyap bersamaan dengan lenyapnya suara kakakku. Merangkak susah payah. Aku mencari hanya untuk mendapati basah yang amis. Darah. Namun bukan itu yang membuatku tak bisa bernapas. Berbeda dari tubuh adikku yang lenyap, kedua tanganku masih bisa merasakan kehadiran seonggok tubuh. Meraba. Mataku panas. Tangan gemetar membuka penyumpal mulut. Aku tidak bisa melihat, tapi demi apapun kedua tanganku sudah menjadi bukti betapa para iblis sialan itu mempermainkan nyawa kakakku. Masih ada napas yang terisa, hanya saja... sebagian besar dari anggota tubuhnya hilang. Entah sebanyak apa para iblis sialan itu menyiksa kakakku. Jerit mengudara tanpa ku sadari. Sebelum kesadaranku hilang, sesuatu yang teramat lembut mendekap. Merengkuhku hingga tak ada lagi kesadaran yang tersisa.
----- End -----
Ken Auliya
- 4 Maret 2019 -
KAMU SEDANG MEMBACA
Darkness Over You
Детектив / ТриллерJangan lengah. Mungkin detik ini dia ada di belakang punggungmu. Mengawasimu diam-diam, sebelum mendekapmu erat hingga melupakan nafas. Nb : Tema cerita ini 'dark' jadi kemungkinan besar akan ada beberapa chap yang di penuhi tragedi juga kesadisan d...