Prolog

2.4K 96 63
                                    


Bandung, 17 Maret 20xx

Sinar mentari terbentang indah di pelupuk timur, dua insan tengah menikmati indahnya alam yang terbentang luas mengelilingi bumi serta suara tawa terdengar riuh memenuhi kesunyian di sebuah rumah pohon.

"Nis ... lihat, cantik banget kan? Warnanya sempurna, itulah ciptaan Tuhan namanya." Tangannya terulur menunjuk matahari terbit.

"Kak, ada gak yang lebih indah dari cahaya itu?" tanya seorang gadis di sampingnya.

"Hm ... Tentu  ada! Tapi, kamu tau? hujan itu indah kalau dirasakan dengan hati." 

Tatapan gadis itu bergulir menatapnya. "Kenapa hujan kak? bukannya hujan selalu bikin bencana?" tanya gadis itu dengan polosnya.

"Kata siapa hujan selalu membuat bencana? Hujan itu berkah Nis, kamu tau gak kalau hujan itu setiap doa sangat manjur untuk dikabulkan?" Ia tersenyum tipis.

Anisa menggeleng.

"Ada satu hal yang dapat kita pelajari dari hujan. Tentang ... bagaimana tumbuhan hidup tanpa hujan? Dan bagaimana kita sebagai makhluk hidup bisa hidup tanpa setetes air pun? Bayangkan jika hujan enggan turun, apa yang akan terjadi?" 

Gadis kecil itu terus mendengarkan penjelasan pria tampan disisinya. Senyum manis merekah membayangkan indahnya gambaran dari hujan. Ia menikmati penjelasan itu dan mulai mencintai hal yang bernama hujan.

*****

Mentari semakin meninggi, tetapi cuaca diselimuti kabut mendung dan cahaya semakin temaram. 

"Kak ... mau hujan."

"Memang kenapa? Coba kamu rasakan hujan dengan mata tertutup." 

Pria itu tersenyum sembari menengadahkan kedua tangannya merasakan embusan angin dan rintikan air hujan. Sedangkan Anisa sibuk cemas, karna ia tau ayah selalu berpesan untuk tidak berada di atas pohon jika hujan datang. Ia sibuk meneriaki kakaknya itu.

"Kak ... turun yuk! Ada yang mau Anisa kasih."

Anisa tak mendapati respon dari kakaknya, selain hanya anggukan kepala. Ia mulai merasa kesal dan segera turun mendahului kakaknya.

Beberapa tangga-tangga kecil ia turuni, hingga tiba di tanah halaman rumahnya dengan selamat. Anisa tersenyum sejenak merasakan tetesan air hujan sebelum akhirnya meneduh, setelahnya ia melihat kakaknya dengan mata menyipit.

"Kak! turun sini ... aku mau kasih ini," teriak Anisa sembari menunjuk kotak merah di genggamannya.

"Iya! ini mau turun!"

Brian namanya. Bukannya turun pria kecil itu mengulur waktu membersihkan rumah pohon tempat healing terbaik bersama Anisa itu, ia masih mengacuhkan teriakan Anisa yang sedari tadi berkicau. Namun, saat Anisa sibuk meneliti kembali isi kotaknya sebuah getaran hebat menggoncang sekitarnya. Awalnya tak begitu terasa, semakin lama semakin terasa dan membuat sedikit tanah bergerak.

Anisa membelalak. "KAK BRIAN BURUAN TURUN! GEMPA KAK! KAKAK! KAK BRIAN CEPAT TURUN, GEMPA KAK!" teriak Anisa yang berlari mendekati rumah pohonnya.

"ANISA TENANG! AKU HARUS NEMUIN SESUATU!"

"KAK UDAH GAK KEBURU! TURUN KAK!"

Keduanya saling bersahutan, tetapi Anisa sangat khawatir dengan Brian yang masih saja tak menggubris betapa bahayanya kondisi kini. Guncangan semakin terasa dan Brian baru saja keluar dari rumah pohonnya, segera ia menuruni tangga.

"ANISA JANGAN DI BAWAH POHON NAK!"

KRIEK ... KRIEK ...

"T-TAPI KAK BRIAN YAH!"

Tanpa mendengar apa yang Anisa ucapkan, ayah berlari sekuat tenaga meraih tubuh Anisa di bawah pohon yang menandakan akan runtuh. Benar saja, bahkan serpihan kayu-kayu rumah pohon berjatuhan.

"AYAH TUNGGU YAH!"

Ayah memeluk dan membopong tubuh Anisa yang mengeras tak ingin di gendong oleh ayahnya. Anisa ingin melepaskan pelukan ayahnya, tapi ayah benar-benar memaksanya dan membawanya pergi menjauh dari pohon.

"AYAH! TURUNIN NISA! KAK BRIAN YAH!"

Anisa terus meronta-ronta dan menangis begitu kencang tak sanggup melihat bagaimana keadaan Brian. Namun, setelah jauh dari pohon ayah menurunkan Anisa.

Ayah menggenggam kedua bahu Anisa dan menatapnya khawatir.

"Kamu kenapa? Tenang nak, sekarang dimana Brian?" tanya ayah yang masih khawatir.

"Ayah ... Kak Brian disana!" Anisa menunjuk rumah pohonnya.

Sontak ayah terbelalak, "Kenapa gak bilang dari tadi Anisa!"

"Kamu tunggu disini sama ibu, jangan kemana-mana!"

Ayah berlari menghampiri kembali ke tempat semula ia membopong Anisa, hanya saja takdir berkata lain Brian sudah terjatuh dan tubuhnya tertimpa pohon beserta puing rumah pohonnya. Tubuh ayah terkulai lemas tak berdaya menyaksikan reruntuhan puing rumah dan pohon. Ayah terduduk, hatinya terasa teriris dan merasa sangat bersalah.

"Brian ... kamu dimana nak?" rintih ayah matanya berbinar.

"AYAH!"

Ayah menoleh ke belakang, Anisa terengah-engah menghampiri dirinya. Ia terdiam, air matanya semakin berlinang menyaksikan reruntuhan pohon beserta rumah pohonnya. Segera ayah menghampirinya yang ingin berlari menghampiri reruntuhan kayu-kayu disana, ayah merangkul sekuat tenaga sembari menahan tangisnya.

"AYAH! KAK BRIAN?! AYAH! KAK BRIAN!!"

// Bersambung ...

Thank you for everything and don't forget vote this story ...

Then Again Loving ✔ [PROSES REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang