Dhean Yusa Wijaya, itu nama lengkap sesosok cowok yang tertutup itu. Berbeda seratus delapan puluh derajat dari Ryan – sang kakak.
Bukannya Dhean tidak memiliki potensi untuk menjadi salah satu cowok favorit di sekolah. Ia cukup tampan, keluarganya berkecukupan, kemampuan otaknya pun lumayan, ditambah lagi, Dhean menguasai beberapa cabang olahraga dengan baik –basket, sepakbola, futsal. Namun mengingat sifat tertutupnya, sangat sulit mendekati Dhean. Banyak yang takut untuk sekedar menyapanya. Lagipula, Dhean tidak terlalu suka berada di tengah kerumunan orang – terlalu berisik. Ia juga tidak terlalu suka dengan kemewahan. Walaupun orangtuanya sanggup membelikannya mobil, tapi ia tidak mau. Ia lebih memilih motor,itupun karena orangtuanya memaksa. Mereka takut jika Dhean naik kendaraan umum. Lokasi sekolah Dhean sangat tidak aman. Handphone yang sekarang ia miliki pun hasil paksaan Mamanya.
Keadaannya yang mempunyai sedikit teman membuat Dhean merasa lebih nyaman. Ia tidak perlu terkena kesulitan apapun, dan ia tidak perlu ikut mempergunjingkan orang, salah satu kegiatan yang dibencinya.
Kesendirian yang menguntungkan.
Tapi Ryan tidak sependapat dengan opini adiknya ini. Ia sering kali heran, ketika teman-teman sebayanya memilih untuk menghabiskan malam minggu di tempat-tempat hits atau sekedar main billiard dengan sesama jomblo, Dhean lebih memilih tidur di rumah sambil membaca tumpukan bukunya yang entah ada berapa banyak. Dan yang membuat Ryan lebih bingung –bahkan khawatir – adiknya itu paling malas berurusan dengan cewek. Satu opini lagi yang keluar dari mulut Dhean dan disangkal Ryan; cewek itu biang masalah. Ryan benar-benar tidak sependapat. Ryan mengakui, dalam hidupnya, ia juga tidak memiliki banyak teman cewek –hanya sebatas kenal saja. Tapi Niken? Ia telah bersahabat dengan gadis itu sejak kecil dan sampai sekarang hubungan persahabatan itu masih terjalin. Sejak dulu mereka satu sekolah. TK, SD, SMP, SMA, bahkan sampai kuliah, dan kini, mereka juga melatih Marching Band di almamater mereka dulu.
Dan sampai sejauh ini, Niken tidak pernah menimbulkan masalah untuknya.
***
Dhean melihat sosok yang sedang berjalan di kejauhan dengan wajah tertunduk lesu. Diperhatikannya sosok itu sesaat dan dahinya mengernyit. Kenapa lagi cewek itu? Ia pun berjalan mendekat.
Chiko yang sedang berjalan sambil menatapi kertas ulangan dalam genggamannya. Ini ulangan matematika keduanya di semester dua tahun pertamanya di SMA Cakrawala, dan nilainya hanya mengalami peningkatan 0,1 point, dari 4,3 menjadi 4,4.
Nilai yang buruk!
BRUK!
Lagi-lagi nabrak orang! Runtuk Chiko dalam hatinya.
"Kalau jalan hati-hati, Chiko," ucap Dhean – yang ditabrak Chiko – tanpa ekspresi. Diamitnya lengan gadis itu untuk membantunya menyeimbangkan diri.
Chiko nyengir malu, "Makasih, ya."
Chiko beranjak ke arah bangku yang terletak di luar perpustakaan –sebuah bangku besi panjang yang cukup untuk diduduki tiga orang jika duduk berhimpitan. Ia menunduk lesu.
Dhean yang tadinya hendak beranjak mengurungkan niatnya. Melihat ekspresi Chiko, ia tahu gadis itu sedang berada dalam kesulitan. Dhean beranjak mendekati gadis itu dan duduk di sisinya.
Dari cerita yang Dhean dengar, Chiko tidak mempunyai banyak teman. Melihat gadis itu tampak bersusah hati, Dhean tergerak untuk bertanya.
"Kenapa, Chi?"
Chiko menoleh dan menatap cowok itu. Lagi-lagi Dhean bertanya tentang masalah pribadinya. Apa cowok ini tidak tahu kalau ia enggan mengumbar masalah pribadi pada orang lain?
YOU ARE READING
Yoshiko
Teen FictionChiko - Yoshiko Arrestya Martin - gadis keturunan Padang-Jepang yang terbiasa hidup menyendiri. Sejak kecil Ibunya telah meninggalkannya. Dalam hidupnya hanya ada Ayah dan Kak Revo. Namun Ayahnya adalah seorang dosen di Universitas terkemuka yang ke...