BAB 1: Jilbab. Sensasi?

155 9 0
                                    


"Susan! Alika!"

Kedua gadis itu beradu pandang mendengar panggilan pelatih mereka. Ada apa ini?

"Kalian yang lain, boleh bubar!"

Dinding GOR memantulkan decit sepatu-sepatu basket merk ternama para pemain putri Thunder –tim basket kebanggaan kota Surabaya- yang meninggalkan lapangan dan menuju ruang ganti. Beberapa pemain putra di lapangan sebelah teralih perhatiannya dan menoleh. Susan melambai-lambai kepada mereka. Dua orang cowok tertawa. Yang lain tak peduli dan kembali pada aktivitasnya semula.

Coach Indra, pelatih muda bertubuh tegap itu menunggu para pemainnya yang lain berjarak belasan meter sebelum berkata kepada dua pemain putri tersisa.

"Selamat, kalian mendapat surat pemanggilan seleksi tim nasional."

Susan, yang sudah pernah mendapat surat yang sama setahun sebelumnya, terpana sejenak, lalu tersenyum lebar. Sedangkan Alika, junior yang baru memasuki tahun kedua di tim ini, tak sadar membuka mulutnya, terpana tak percaya.

Susan menyadari muka bego Alika dan menyenggol rekannya itu.

Alika tersadar dan mengerjap-ngerjapkan mata. "Ini serius, Coach?"

"Tentu saja serius. Kamu pikir saya Cak Lontong?"

"Tapi.. Tapi.."

"Alika," potong coach Indra. "Kamu boleh kaget dipanggil timnas, saya nggak peduli. Tapi kamu harus kasih keputusan besok, apakah akan berangkat atau tidak. Kalau kamu nggak mau, PB Perbasi akan memanggil pemain lain!"

Alika memicingkan mata. "Tentu saja saya akan berangkat, Coach. Kenapa mengira saya nggak akan berangkat?"

Coach Indra memandang Alika dengan putus asa. Bola matanya bergerak perlahan ke arah kepala gadis itu.

Refleks, Alika memegang kain yang menempel di kepalanya. Seperti de ja vu, sesuatu yang bergolak tak nyaman menjalari hatinya.

"Ini? Timnas melarang jilbabkah, Coach?"

Pria berkulit sawo muda itu mengangkat alis. "Kamu belum tahu?"

Alika menggeleng. WNBL, kompetisi yang dia ikuti sekarang, tidak pernah mempermasalahkan penutup kepalanya. Apakah timnas berbeda?

"Kamu belum pernah baca regulasi FIBA?"

Alika melirik Susan, yang ternyata sedang meliriknya juga dengan sinis. Alika mengurungkan niatnya bertanya pada rekan setimnya itu.

Seingatnya, regulasi baru selalu disosialisasikan di lapangan oleh para pelatih. Dia tak yakin ada di antara pemain basket yang pernah benar-benar membaca regulasi FIBA. Setelah berusaha menggali ingatannya –barangkali dosen mata kuliah Basket pernah memberinya tugas menganalisa regulasi itu atau semacamnya- selama beberapa detik dan ternyata nihil, akhirnya Alika menggeleng lagi.

"Timnas dibentuk untuk melakoni laga regional dan internasional. Harus tunduk pada regulasi FIBA. Dan, iya, FIBA melarang penutup kepala. Saya harap kamu bisa mengambil keputusan dalam sehari ini, apakah akan memenuhi undangan seleksi atau tidak. Pikirkan baik-baik, Alika. Besok saya tunggu jawabanmu. Saya harus segera membalas surat PB Perbasi."

Suara 'gluk' seakan bergema di telinga Alika ketika ia menelan ludah dengan susah payah. Sehari? Dia butuh berbulan-bulan sebelum memutuskan memakai jilbab. Dan sekarang, dia hanya punya waktu sehari untuk memutuskan bakal bertahan dengan jilbabnya atau tidak? Apa bisa?

"Susan, kamu nggak perlu ditanya, kan? Pasti berangkat?" Coach Indra mengalihkan pandangan pada sosok di sebelah Alika.

"Siap, Coach!" tegas Susan sambil mengangkat tangan hingga pelipis. Posisi hormat kepada komandan upacara.

Sekali lagi Alika menelan ludah. Seandainya dia bisa menjawab semudah itu.

"Oke, kalian boleh ganti," tutup coach Indra. Tanpa basa-basi, ia berbalik dan meninggalkan kedua anak asuhnya.

Alika memandang punggung sang pelatih dengan kepala penuh. Dipanggil seleksi timnas. Itu impian semua atlet cabang olahraga apapun di negeri ini. Bermain untuk tim nasional. Mengenakan jersey bertuliskan Indonesia. Siapa yang tidak bangga? Tapi jilbab ini..

Apakah benar-benar dilarang? Maksudku, batin Alika, apakah BENAR-BENAR dilarang? Atau ada celah supaya bisa tetap mengenakannya? Dan mahasiswa Ilmu Keolahragaan macam apa dia sampai tidak tahu ada pasal dalam regulasi FIBA yang melarang jilbab?

"Hei, Alika!" Susan menepuk punggung Alika sekuat tenaga ketika dilihatnya teman setimnya itu bergeming di tempat.

Tepukan itu meninggalkan rasa panas yang membuat Alika menggeliatkan punggung.

"Wah, penganiayaan iki!" Protesnya seraya berbalik badan.

"Keputusan berat?" Tanya Susan sambil memiringkan kepala, mengabaikan omelan Alika.

Alika memandang Susan. "Menurutmu?"

Gadis keturunan Tionghoa berusia 20 tahun itu mengangkat bahu. "Pakai wig?"

"Apa kita mau fashion show?"

"Apa bedanya? Toh kamu pakai jilbab juga biar kelihatan beda, kan?"

Alika menarik nafas. Jadi itu yang disangka Susan?

"Ini kewajibanku, Susan. Kewajiban perempuan dalam agamaku. Aku nggak sedang mencari perhatian." Alika menekan suaranya. Berusaha mengontrol diri seperti yang dulu pernah dilakukannya.

Susan mengangkat bahu. "Masa sih? Kok aku nggak percaya ya?"

Alika membuka mulut, bermaksud menimpali ucapan Susan, tapi ia tak yakin harus mengatakan apa.

Susan menegakkan diri. "Aku mau pulang. Selamat berpikir, Alika," kemudian berlalu ke ruang ganti pemain. Baru beberapa langkah, dia berbalik menghadap Alika dan meletakkan satu tangan ke pinggangnya. "Sejujurnya, aku nggak peduli kamu berangkat atau enggak. Kamu bakal jadi rivalku di seleksi, jadi kupikir-pikir, mungkin lebih baik kalau kamu nggak berangkat."

Alika melongo dan memandang Susan yang memutar tubuh lalu menjauh.

Dengan pikiran penuh, diraihnya ransel di bench, lalu melangkah keluar dari GOR. Tak ada waktu untuk ganti baju dan bergosip seperti teman-temannya. Waktunya sempit.

Sepanjang langkah ke luar, Alika memikirkan ucapan Susan yang cukup menohok barusan. Biar kelihatan beda? Jadi begitu ya? Tandemnya di lapangan itu berpikir dia cuma mencari perhatian dengan mengenakan jilbab? Memangnya dia terlihat seperti sedang mencari perhatian? Perhatian siapa? Jangan-jangan, bukan cuma Susan yang berpikiran demikian? Orang lain juga begitu? Menganggap orang yang bermain basket dengan aurat tertutup cuma mencari perhatian? Sensasi?

Mendadak Alika merasa disamakan seperti selebriti yang main jambak-jambakan hanya demi disorot kamera.


Basket di Hatiku Jilbab di KepalakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang