Bab 7: Nekat

26 1 0
                                    


Alika buru-buru menghapus air mata ketika decitan sepatu lain mulai terdengar dari halaman GOR. Tanpa menunda untuk melihat siapa yang datang, setengah berlari disambarnya ransel di bench lalu dibawanya tubuh mungilnya masuk ke toilet di ujung tribun. Ia tak ingin seorangpun dari rekan setimnya yang melihatnya menangis. Mereka pasti ingin tahu dan ia sedang tak ingin menjawab rasa penasaran siapapun.

Di dalam toilet, dilepasnya tunik merah lengan panjang yang dipakainya untuk kuliah, kemudian disusutnya cairan mata dengan baju itu hingga kering. Ia tak membawa sapu tangan ataupun tisu. Sembari menekan-nekan ujung mata dengan gumpalan baju, ia berusaha mengendalikan perasaan nyeri di dadanya akibat ketidaktulusan Gibran, berandai-andai sakit semacam ini bisa diredakan dengan sebutir parasetamol.

Alika merutuki dirinya sendiri kenapa bisa sampai ke kondisi ini, kondisi yang harusnya bisa dicegahnya kalau ia tegas untuk tidak dekat dengan lelaki, kemudian berjanji mulai kini untuk memasang tembok tinggi-tinggi dan tak lagi membiarkan laki-laki manapun memasuki hidupnya sebelum ia benar-benar siap, meski berkedok teman baik sekalipun.

Teman baik? Nonsense.

"Hei, siapa di dalam?"

Ketukan tiba-tiba di pintu toilet membawa Alika kembali pada kenyataan.

"Bentar, tanggung nih."

Alika menarik tuas penyiram toilet, agar siapapun itu di luar mendengar dan menyangkanya sedang buang hajat.

Setelah memakai kaos untuk latihan dan memastikan tak ada lagi sisa cairan di matanya, Alika membuka pintu dan tersenyum pada rekannya yang sedang mengantri, berpura-pura semua baik-baik saja.

"Oalah, kamu di sini ta Alika?"

Alika menoleh dan melihat Linda, kapten tim mereka berdiri di depan pintu toilet yang lain.

"Iya, ada apa?"

"Dicari Coach Indra tuh, aku kirain kamu telat."

"Di lapangan atau di kantor?" Tanya Alika, tersadar akan tenggat waktu keputusannya.

"Kantor."

"Oke, makasih."

Setengah menunduk, Alika berjalan melewati rekan-rekannya yang berjejer di sana -beberapa mengantri toilet dan yang lain bergantian memasuki ruang ganti-, menuju kantor official yang berada di bawah tribun dekat pintu masuk.

Sudah ada coach Indra dan dua orang lain di sana. Alika mengetuk pintu yang terbuka dan coach Indra menyuruhnya masuk.

"Tumben kamu nggak telat," sambut pelatih berusia 28 tahun itu.

"Nebeng teman, Coach," sahut Alika, dengan desiran perih di dadanya ketika menyebut 'teman' yang mungkin tak lagi menjadi temannya.

"Baguslah. Sering-sering aja nebeng, biar nggak telat terus. Hukumanmu sudah memegang rekor di tim ini."

Alika tersenyum kecut. Tidak mungkin lagi nebeng Gibran sekarang. Dan saking seringnya telat, hukumannya tak terasa berat lagi karena sudah dianggapnya sebagai bagian dari porsi latihan. Lagipula, sebagai mahasiswa Ilmu Keolahragaan, ia tahu pasti manfaat dari gerakan-gerakan itu.

Thunder memang menerapkan hukuman 10 kali sit up, 10 kali push up, 10 kali squat jump ditambah lari keliling lapangan 3 putaran dan 10 kali masuk tembakan 3 angka bagi siapa saja yang terlambat datang latihan. Alika tak dikecualikan meskipun semua tahu sebab keterlambatannya.

Coach Indra menarik kursi untuk dirinya sendiri sambil menunjuk kursi di seberang mejanya untuk Alika.

"Jadi, gimana keputusanmu?"

Alika duduk sambil mengatur nafas, membuang sisa-sisa pikiran mengenai Gibran melalui tiap hembusan nafasnya, lalu berdehem.

"Saya.. belum memutuskan, Coach.."

Coach Indra terpana sejenak. Wajah datarnya tak bisa dibaca Alika.

"Saya harus mengirim jawaban hari ini, Alika. Nggak bisa lagi menunggu. Kalau kamu nggak yakin, lebih baik nggak usah berangkat. Kamu tahu peraturannya. Perbasi nggak mungkin berani melanggar aturan FIBA."

Alika menelan ludah. Sekarang, basket adalah satu-satunya hal yang membuat hidupnya masih bermakna. Kesempatan menjadi pemain nasional terbentang lebar di hadapannya. Kalau ia mundur, bisa jadi kesempatan tak akan datang lagi. Tak ada jaminan tahun depan ia akan dipanggil kembali.

Mendadak, wajah Gibran dan Sandy berkelebat singkat di benaknya, membuatnya ingin meninggalkan Malang dan Surabaya untuk sementara waktu.

Dengan satu helaan nafas, Alika menjawab. "Saya berangkat, Coach."

"Kamu tahu konsekuensinya?"

Alika menggangguk.

Sama sekali tidak yakin. 

Basket di Hatiku Jilbab di KepalakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang