Bab 2: Mengejar Kereta

113 7 0
                                    


Di depan GOR, Alika mengangkat muka dan menggembungkan pipi ketika melihat Sandy beberapa langkah di depan, duduk di atas sepeda motor sambil mengacungkan helm.

"Sudah jam segini, San. Ngebut ya?" Alika menerima helm dari tangan Sandy dan langsung memakainya hingga bunyi 'klik' terdengar.

Sandy mengangguk.

Alika naik di boncengan Mio Sandy. Belum duduk benar-benar, Sandy sudah memacu motornya. Alika terjengkang. Refleks, gadis itu menyambar ekor kuda rambut Sandy untuk berpegangan. Kepala Sandy tertarik ke belakang. Di luar kendali, tangan kanannya memperbesar gas motor, yang langsung melaju kencang di tak terkontrol. Untung lingkungan GOR sedang sepi, kalau tidak, mereka mungkin sudah mengirim orang ke UGD.

"Apa-apaan, sih, pake narik rambut segala?" Omel Sandy ketika berhasil menguasai tarikan gasnya lagi.

"Kamu, sih. Orang duduk baru separo, udah main gas aja!" Alika balik mengomel, setengah berteriak di antara deru angin.

"Lah, katanya suruh ngebut?"

"Ya ngebut kalau aku sudah duduk, dong!"

Sandy terkikik. "Untung kamu nggak jatuh di jalan tadi ya?"

Alika mendorong helm Sandy dari belakang. "Untung juga rambutmu masih nempel di kepalamu. Kalau lepas, gundul dah. Besok pake wig aja, atau sekalian pakai jilbab kayak aku."

Sandy terkikik lagi. "Trus pas aku pulang, mamaku mencak-mencak karena disangka aku pindah agama."

"Bilang aja, kamu latihan jadi suster."

"Lah, mana percaya mamaku. Aku kan nggak bisa hidup tanpa laki-laki."

"Siapa tahu kamu dikira tobat."

"Kasihan laki-laki kalau hidup tanpa diriku, Alika."

Alika terkikik dan dua sahabat itu tertawa sepanjang jalan lepas dari GOR. Beberapa pengendara motor yang mereka lewati menoleh, mengira kalau dua gadis itu sedang mabuk atau semacamnya.

Mereka masih tertawa dan bercanda hingga Sandy berhenti mendadak di perempatan Gramedia. Alika meluncur ke depan. Hidungnya menabrak bagian belakang helm Sandy. Digosoknya hidung yang tak seberapa mancung itu, sambil menarik lagi rambut Sandy. Kali ini dengan sengaja.

"Kalau aku cedera, kamu bisa dituntut sama Coach Indra!"

Sandy mengibaskan tangan kirinya. "Ah, paling juga hidungmu aja yang tambah pesek. Kujamin, Thunder nggak akan mau bayar operasi plastik memancungkan hidung. Yah, kecuali kalau hidungmu bisa dipakai shooting dan bikin Thunder juara WNBL.."

Alika tertawa sambil menggosok hidung. Suaranya mirip orang flu yang sudah setahun tidak sembuh-sembuh. Sandy menyodok rusuk Alika, yang segera merubah tawa menjadi omelan panjang lebar, yang ditimpali Sandy dengan gurauan sepanjang jalan.

Alika dan Sandy bersahabat. Mereka saling mengenal sejak SMP dan mulai berteman baik ketika duduk sebangku di SMA. Alika bukan jenis orang yang cepat akrab dengan orang. Tapi Sandy memang supel, sehingga tak butuh waktu lama baginya membuat Alika merasa nyaman.

"Eh, ngomong-ngomong soal Coach Indra, salamku udah disampaikan belum, nih?" Bisik Sandy ketika tawa Alika mereda. Mereka masih menunggu lampu hijau bersama berderet-deret kendaraan lainnya..

"Mana tega aku kasih dia salam dari kamu. Paling juga kamu PHP-in. Kasihan. 'Tar nggak konsen ngelatih dianya, kacaulah timku."

"Yaelah, Alika. Orang cool kayak dia tuh nggak bakalan gampang geer. Udah, salamin dululah. Urusan selanjutnya biar aku."

Basket di Hatiku Jilbab di KepalakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang