Bab 8: Pilihan

34 1 0
                                    


            Suara alarm merobek udara, memekakkan telinga Alika dan langsung membuatnya menegakkan tubuh dengan jantung berdentum-dentum.

Susan duduk manis di tempat tidurnya sambil menatap Alika tanpa merasa bersalah.

"Matiin!" teriak Alika dengan suara serak di tengah suara alarm yang memenuhi kamar hotel mereka.

Dengan gerak lambat, Susan mengambil ponselnya yang berteriak-teriak nyaring di nakas samping tempat tidur Alika. Ia sengaja menyetel alarm dengan volume maksimal, dengan pilihan suara jam beker jadul yang selalu membuat siapapun panik ketika mendengarnya.

"Kamu udah gila ya, bisa jantungan aku!"

Susan tertawa dan melemparkan secarik kertas ke arah Alika dengan gaya melempar frisbee. "Kamu harusnya berterima kasih sudah aku bangunkan."

"Jam berapa ini?" tanya Alika. Jantungnya masih berdentam-dentam.

"Delapan lebih. Mau bawa kebiasaan telatmu ke sini?"

Alika mengerjap beberapa kali dan membersihkan sudut-sudut matanya dengan ujung jari telunjuk, lalu membaca jadwal. Jam sembilan bus akan meninggalkan hotel, sementara dia belum mandi dan sarapan.

"Selamat berburu waktu, Alika. Aku mau ke lobi." Susan mengambil ransel, lalu melenggang meninggalkan kamar. Gadis itu sudah mengenakan pakaian olahraga lengkap dengan sepatu.

Alika melompat dari tempat tidur begitu Susan menutup pintu. Ia menyambar peralatan mandi dan mandi secepat mungkin. Bodohnya ia sampai kesiangan begini. Ia memang tak bisa tidur semalaman di kereta. Sibuk mengira-ngira apa yang akan di hadapinya di Jakarta dengan keputusan nekatnya menerima panggilan seleksi timnas. Kereta Gajayana tiba di Gambir saat adzan subuh berkumandang, jadi ia masih sempat sholat sebelum terkapar di mobil jemputan dari PB Perbasi. Di hotel sebenarnya ia hanya berniat meluruskan punggung sebentar. Tak disangka kantuk menyerangnya lebih kuat daripada yang sanggup ditanggungnya, jadilah ia tertidur hingga alarm Susan merampok kesadarannya.

Mandi kilat dan usahanya berlari-lari menuju lantai 3 (tempat restoran berada) berasa percuma ketika ia mengantri di belakang seorang perempuan yang begitu lambat mengambil makanan, yang berkali-kali urung memilih sebuah menu, berganti-ganti menu yang lain, seolah-olah pilihan menu sarapannya begitu penting untuk mengubah dunia.

Putus asa, Alika meninggalkan antrian lalu mengambil sepiring buah dan dua potong roti di meja yang bebas antri, mengoles selai cepat-cepat, kemudian duduk di kursi kosong di dekat pintu, mengunyah dengan jumlah kunyahan yang tidak sesuai aturan kesehatan dan segera meninggalkan ruang makan setelah semua makanannya tandas.

Di lobi, para peserta seleksi dengan kaos dan celana pendek mengular di pintu hotel, menuju bus besar yang menunggu dengan mesin menyala.

Alika bergabung dengan antrian. Susan ada di depannya, menoleh memamerkan senyuman miringnya yang merendahkan. "Nekat kamu ya, pakai jilbab begini?"

Alika hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban. Ia belum tahu apa reaksi PB Perbasi, jadi ia berniat sedikit bertaruh nasib. Kalau Susan menganggapnya sedang mencari perhatian, yah, bisa jadi kali ini rekannya itu benar.

Alika dan Susan masuk ke dalam bus PB Perbasi diikuti pandangan bertanya-tanya dari peserta seleksi yang lain. Susan tampak menikmati suasana menjadi pusat perhatian itu, melambai-lambai ala Putri Indonesia dan melangkah duluan untuk berjalan di depan Alika, yang memilih tersenyum tipis pada mereka semua kemudian memusatkan pandangannya pada bagian belakang bus.

Tampaknya mereka berdua adalah peserta terakhir yang naik ke bus, karena sopir langsung menjalankan kendaraan besar itu sesaat setelah keduanya duduk. Alika memandang ke luar jendela. Pikirannya berkecamuk. Apa yang harus dia lakukan sesampainya di senayan nanti? Apa kata tim pelatih melihatnya datang dengan jilbabnya? Apa yang akan mereka katakan? Reaksi Susan dan pandangan mata peserta seleksi lain saja cukup mewakili betapa penutup kepalanya adalah sebuah masalah.

Basket di Hatiku Jilbab di KepalakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang