"Ukhti, afwan sebelumnya. Boleh ana tanya?"
Saat itu Alika duduk di musholla sekolah, bersiap mengikuti ekskul BTA (Baca Tulis Alquran), ketika seorang senior berjilbab lebar tiba-tiba duduk di hadapannya.
Alika mengangguk. "Tanya apa, Mbak?"
Senior itu berdehem sekali sebelum bertanya. "Apa betul Ukhti punya pacar?"
Alika menelan ludah. Tak enak sekali mendadak ditodong pertanyaan semacam ini. Apa urusannya?
Senior itu seperti menangkap keengganan Alika untuk menjawab, karena ia segera menambahkan, "Afwan, ana cuma mau tabayyun, daripada tersebar gosip yang tidak-tidak, lebih baik klarifikasi lebih dulu kepada yang bersangkutan."
Tabayyun itu klarifikasi. Istilah yang dipelajari Alika di awal-awal ikut BTA.
Melihat niat baiknya, Alika mengangguk. "Iya, Mbak. Saya memang punya."
"Oh.." Senior itu terdengar kecewa.
"Ada apa, Mbak?"
"Ukhti tahu kalau pacaran dalam islam itu dilarang?"
Alika melongo. "Oya?"
Senior itu mengangguk penuh semangat. "Iya. Hubungan istimewa laki-laki dan perempuan kan legalnya dalam pernikahan, jadi kalau memang sudah siap menikah, baiknya segera dikhitbah dan menikah saja."
"Hah?" Alika terpana. "Saya kan belum mau nikah dalam waktu dekat, Mbak." Siapa juga yang mau? Baru juga kelas XI. Pipis belum lurus kata orang-orang.
"Lalu pacaran tujuannya apa?"
Alika garuk-garuk kepala. "Emang harus ada tujuannya ya?"
Senior itu mengangguk lagi dengan semangat. "Semua yang kita lakukan kan harus ada tujuannya, Ukhti. Lebih spesifik lagi, tujuan kita sebagai muslim adalah akhirat. Dunia cuma sarana saja. Jadi, apapun yang kita lakukan, haruslah sesuai tuntunan agama."
"Emangnya nggak boleh melakukan sesuatu cuma seneng-seneng aja gitu?"
"Waktu kita di dunia kan nggak lama. Sebaiknya kita nggak buang-buang waktu dengan hal-hal yang nggak bermanfaat, apalagi sampai melanggar aturan agama."
"Pacaran kan ada manfaatnya, Mbak."
"Misalnya?"
"Bikin bahagia."
"Tapi berduaan dengan laki-laki yang bukan mahram itu nggak boleh, karena yang ketiga setan. Ada haditsnya."
"Berarti kalau rame-rame boleh, Mbak?"
Senior itu menghela nafas. "Tetap nggak boleh, Ukhti. Itu masuk kategori mendekati zina."
"Tapi kami nggak ngapa-ngapain, Mbak."
"Zina itu banyak bentukanya, zina tangan, zina mata, zina hati."
Alika garuk-garuk kepala lagi. "Jadi nggak boleh lihat laki-laki?"
"Sebaiknya dihindari."
"Jadi saya harus putus?"
"Sebaiknya begitu."
"Demi apa?"
"Demi keimanan yang utuh."
Skak mat untuk Alika.
***
Setelah obrolan dengan seniornya itu, Alika galau selama berhari-hari. Beberapa bulan ikut BTA, banyak hal yang baru diketahuinya mengenai agama. Awalnya, aturan tentang menutup auratlah yang telah membuatnya galau. Setelah berjibaku sekitar setahun, akhirnya ia menutup aurat juga. Beberapa teman mendukungnya, tapi tak sedikit juga yang nyinyir, melihat karakter Alika yang tak banyak berubah meskipun memakai jilbab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Basket di Hatiku Jilbab di Kepalaku
Fiksi Remaja'Timnas adalah impianku. Jilbab adalah perintah-Mu. Mana yang yang harus aku pilih?' Nama Alika dalam timnas terancam. Ia bisa saja dicoret dari daftar kalau tetap berjilbab saat bertanding. Alika merasa tak mungkin meniadakan salah satunya. Basket...