3.

27 5 0
                                    

Ditatapnya anak itu. "kemarilah mendekat nak, Ibu kamu telah memberimu hadiah." dipeluklah Shabir dengan erat, dicium rambutnya itu, bergelimanglah air matanya jatuh membasahi kepala Shabir.

Rupanya ini semua telah ada firasat olehnya karena beberapa hari yang lalu, pada saat istrinya berjumpa dengan seorang lelaki.

"Shabir sabarlah naak, malang benar nasibmu " gumamnya dalam hati dengan tangisan yang tak nampak. namun tegar sebagai seorang laki laki dan seorang ayah.

Diberikan sebuah gantungan yang berbandul lukisan mekkah.

"Nak, apabila kamu rindu dengan ibumu, ciumlah bandulan ini. Pasti rindu kamu akan menjadi rasa nyaman. Karena jiwa ayah dan ibumu ada digambar ini nak".

Pagi, siang, sore dan malam. Ayah Shabir merawat anaknya dengan penuh kasih sayang dan cinta yang tulus setiap hari. Kadang Shabir tertawa kadang pula ia termenung diam melihat Ayahnya bekerja membanting tulang. Begitu berlalu sampai ia beranjak SMA, ia tak pernah lagi merasakan kasih dan sayang seorang Ibu. Inilah hidup yang telah ditakdirkan, Shabir tetap tegap berdiri.

Kembalilah ia dari ingatan masa lalunya menuju ke alamnya yang sekarang. Shabirpun pulang ke Masjid, ketempat ia menumpang hidup bersama ayahnya. Malam yang suntuk telah dilakoninya. Shabir masih ingin melanjutkan harapan cintanya, harapan yang membuatnya tersenyum sepanjang hari, terutama kepada seorang wanita yang berhati lembut dan mulia yang kelak menjadi teman hidupnya

Terbitnya Sebuah HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang