WHAT IF: SALRON

1K 66 5
                                    


Perjalanan pulang Rony dan Salma diawali dengan hening yang menggantung. Mereka sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing, hingga hanya suara mesin mobil yang menemani. Rony tampak fokus menyetir, sedangkan Salma memandang keluar jendela, memperhatikan lampu-lampu kota yang berkilauan.

Beberapa menit berlalu tanpa satu pun kata terucap. Akhirnya, Salma menarik napas dalam-dalam, merasa perlu untuk memecah keheningan.

“Lo deket ya sama Lyodra, sejak kapan dah?” tanyanya tiba-tiba, nada suaranya terdengar santai, tapi cukup untuk membuat Rony menoleh sesaat sebelum kembali memperhatikan jalan.

Rony mengerutkan dahi, mencoba memahami arah pertanyaan itu. “Lyodra? Maksudnya gimana, Sal?”

Salma mengangkat bahu, tapi pandangannya tetap lurus ke depan. “Ya, gue liat aja kalian akhir-akhir ini sering bareng. Gue penasaran aja.”

Rony tertawa kecil, meski terdengar agak canggung. “Nggak ada apa-apa kok. Gue sama Lyodra cuma temenan.”

Salma menoleh, alisnya terangkat. “Temenan? Serius?”

“Ya, serius,” jawab Rony sambil mengangguk. “Dia enak diajak ngobrol. Orangnya seru. Tapi nggak lebih dari itu.”

Salma mengamati ekspresi Rony untuk memastikan kebenaran kata-katanya. Setelah beberapa detik, ia kembali bersandar ke kursinya. “Hmm, oke. Gue percaya deh, buat sekarang.”

Rony tersenyum tipis. “Kenapa emangnya? Lo kepikiran apa?”

“Nggak, cuma tanya aja,” jawab Salma cepat, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke jendela.

Keheningan kembali mengisi ruang mobil, tapi kali ini terasa lebih ringan. Rony melirik Salma sesekali, berusaha membaca ekspresi wajahnya, namun gagal menebak apa yang sebenarnya ada di pikirannya.

Setelah beberapa saat, Salma bicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut. “Lo bahagia nggak, Ron?”

Pertanyaan itu membuat Rony tertegun. Ia melirik Salma dengan ekspresi bingung. “Maksud lo?”

“Ya, lo bahagia nggak sama hidup lo sekarang?” Salma mengulangi pertanyaannya, kali ini menatap langsung ke arah Rony.

Rony menghela napas, memikirkan jawabannya. “Gue nggak tahu, Sal. Kadang gue ngerasa oke-oke aja. Tapi ada saat-saat di mana gue ngerasa ada yang kurang.”

“Apa yang kurang?” tanya Salma, penasaran.

Rony tersenyum miris. “Nggak tahu juga. Mungkin arah, mungkin tujuan. Gue cuma ngerasa… ya gitu, kayak ada yang kosong.”

Salma mengangguk pelan, seolah memahami apa yang dirasakan Rony. “Gue ngerti kok. Kadang gue juga ngerasa gitu.”

“Lo? Salma yang selalu ceria dan nggak pernah kelihatan galau?” goda Rony, mencoba mencairkan suasana.

Salma tertawa kecil, tapi tidak ada kegembiraan dalam tawanya. “Semua orang punya hal yang mereka sembunyikan, Ron. Lo juga, kan?”

Rony tidak langsung menjawab. Ia tahu Salma benar. Mereka berdua, seperti semua orang lainnya, punya hal-hal yang tidak pernah mereka bicarakan.

“Lo pernah cerita sama siapa pun soal ini?” tanya Salma akhirnya.

“Jarang. Hmm… tapi beberapa waktu belakangan ini, mungkin cuma Lyodra, sedikit,” aku Rony.

Ekspresi wajah Salma berubah. Salma mengangguk lagi, kali ini lebih pelan. “Bagus kalau lo punya tempat buat cerita. Semua orang butuh itu.”

Ketika akhirnya mereka tiba di depan rumah Salma, Rony mematikan mesin mobil dan menoleh ke arahnya. “Thanks, Sal.”

“Buat apa?” tanya Salma, bingung.

“Buat ngobrol. Gue butuh itu,” jawab Rony, tersenyum tulus.

Salma tersenyum balik. “Sama-sama, Ron. Kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya, kalau lo mau sih.”

Rony mengangguk. “Pasti.”

Salma turun dari mobil, melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam rumahnya. Rony menghela napas panjang, lalu kembali menyalakan mesin mobil. Dalam perjalanan pulang, ia merenungkan percakapan mereka, merasa sedikit lebih lega daripada sebelumnya.

Namun, di balik senyumnya, ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya—sesuatu yang belum ia temukan jawabannya.

---

Di dalam rumah, Salma langsung menuju kamarnya. Ia melemparkan tas ke sofa kecil di sudut ruangan dan merebahkan diri di atas kasur. Matanya menatap langit-langit, tapi pikirannya melayang-layang.

“Rony bahagia nggak, ya?” gumamnya pelan.

Percakapan di mobil tadi meninggalkan kesan mendalam di hatinya. Salma tahu Rony adalah tipe orang yang jarang menunjukkan kelemahan, apalagi membicarakan perasaannya. Fakta bahwa ia mau membuka diri, meski hanya sedikit, membuat Salma merasa ada sesuatu yang berbeda malam ini.

Teleponnya tiba-tiba berdering, memecah lamunannya. Ia meraih ponsel yang tergeletak di meja. Nama Nabila muncul di layar.

Setelah lama berbincang dengan Nabila. Akhirnya pembahasan mereka sudah selesai, Salma menutup telepon dan kembali merebahkan diri. Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan pikirannya yang terus berputar. Namun, bayangan wajah Rony dan nada suaranya saat berbicara tentang kebahagiaan terus terngiang di benaknya.

“Kenapa gue malah kepikiran Rony, sih?” ia bertanya pada dirinya sendiri, namun tak menemukan jawaban.

Di sisi lain, Rony juga belum bisa tidur. Ia duduk di balkon apartemennya, menatap langit malam yang bertabur bintang. Percakapan dengan Salma tadi membuatnya memikirkan banyak hal tentang hidupnya, tentang apa yang ia inginkan, dan mungkin, tentang siapa yang ia butuhkan.

Malam itu, keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, tanpa tahu bahwa mereka sedang memikirkan satu sama lain.


Cerita Pendek Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang