Undangan rapat untuk membahas persiapan acara peringatan Maulid Nabi dihadiri oleh sebagian besar pengurus Remas at-Taqwa, termasuk mahasiswa KKN yang didaulat menjadi panitia pembantu dan pengarah.
Rapat yang dipimpin langsung oleh ketua Remas yakni Muhammad Alif Alnawawi ini, membahas tentang penetapan struktur kepanitiaan berikut nama-nama yang akan bertanggung jawab pada posisi jabatannya masing-masing.
Pada saat rapat masih akan membahas detail rencana acara, Alfa sedikit menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sosok Aqila yang katanya juga sebagai pengurus Remas. Namun, sepertinya ia tak hadir di rapat kali ini.
Melalui pemilihan secara aklamasi, ketua panitia diamanatkan kepada Aditya. Aqila menjadi sekretaris, dan Laila menjadi bendahara. Dan nama-nama lain menjabat seperti seksi-seksi konsumsi, dokumentasi, dekorasi, dan lain lain.
Untuk mahasiswa KKN disamping mendapat amanah untuk membantu secara umum acara tahunan ini, mereka juga diberi tugas menjadi penggali dana. Suatu tugas yang mengharuskan para mahasiswa itu membuat proposal sebanyak-banyaknya untuk dikirimkan ke instansi pemerintah maupun swasta. Perkara nanti dana turun atau tidak, tentu hal itu urusan lain.
Kini saatnya Aditya yang terpilih sebagai ketua panitia memimpin rapat untuk menentukan pelaksanaan hari H memperingati hari raya Maulid Nabi , maupun membahas siapa nanti yang akan diundang sebagai penceramah.
Aditya sendiri mengusulkan dai kondang saat ini, Ustadz Evie Efendi namun ditolak oleh sebagian besar peserta rapat karena kesulitan untuk menghubungi Ustadz yang sering tampil di televisi swasta dan sosial media itu. Disamping akan memerlukan biaya yang besar untuk mendatangkannya karena beliau tinggal di Bandung.
Dewi, salah satu mahasiswa peserta KKN mengusulkan panitia mengundang ustadz Abdul Somad beliau juga ustadz yang sedang tren sekarang ini. Namun usulan Dewi juga dimentahkan oleh peserta rapat karena baru-baru ini beliau sudah memberi ceramah di desa tetangga.
Akhirnya peserta rapat memutuskan untuk mengundang kiai dari sebuah pondok pesantren yang ada di Tasikmalaya saja. Alternatif ini dipilih karena mengingat jarak yang dekat hingga tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya uang transportasi. Disamping itu, di Tasikmalaya yang sering disebut sebagai kota santri, juga terdapat banyak kiai yang mumpuni untuk berceramah di pengajian umum. Dan, kiai yang akan diundang itu adalah KH. Abdurrahman Arif.
Saat sidang akan membahas ke permasalahan yang lain, tiba-tiba datang seorang gadis berjilbab hitam memasuki serambi masjid untuk bergabung dengan peserta rapat ini.
"Assalamualaikum," sapa Aqila, sambil melayangkan pandangan ke seluruh serambi masjid. Lalu senyumpun mengembang dibibir mungilnya.
"Wa'alaikumsalam," jawab seluruh peserta rapat hampir bersamaan.
"Maaf, terlambat.." sambungnya dengan tersipu malu.
Semua terdiam, kecuali Aditya yang membalas sapaan Aqila.
"Nggak papa Qila, lebih baik terlambat dari pada nggak datang sama sekali," ucapnya sambil diiringi dengan senyuman.
Semuanya masih terdiam. "Lho.. kamu kesini sendiri?" Tanya Adit dengan mimik menggoda.
"Iya, habisnya kamu nggak jemput aku, jadi aku kesini sendiri." Balas Aqila menggoda yang disambut tawa hadirin.
"Lho Aisyah sama Zahranya mana?" Tanya Adit.
"Aku kira mereka udah kesini duluan," kata Qila sambil celingak celinguk.
Atmosfer masjid tampak berbeda antara sebelum dan sesudah Aqila datang.
Disela-sela rapat Alfa tak henti-hentinya mencuri pandang pada Aqila yang jauh lebih cantik ketika memakai jilbab. Hingga ia teringat seseorang yang yang pernah dekat dengannya yang saat ini sudah tak pernah berkomunikasi dengannya lagi. Alfa pun ingin berkenalan dengannya. "Berkenalan saja tidak salah, bukan?" Pikirnya.
Rapat terus dilanjutkan dengan agenda-agenda yang belum dibahas, misalnya tentang konsumsinya pesan dimana, berapa harga perkotaknya, berapa yang akan dipesan, dan lain sebagainya. Demikian juga untuk seksi-seksi yang lain. Sepertinya tidak cukup waktu untuk hanya rapat sekali ini saja. Besok atau lusa harus diadakan rapat kembali.
Akhirnya, waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam. Adit, atas nama pemimpin rapat, membubarkan peserta rapat dan memutuskan besok atau lusa pertemuan lanjutan akan diadakan.
Peserta bubar perlahan, seiring penutupan dengan bacaan doa. Alfa segera mendekat ke tempat Indra berada untuk membisikkan kata-kata yang sedikit rahasia.
"Kenalin lagi ane sama Aqila!" Alfa serius.
"Loh.., kemarin kan sudah?!" Indra heran.
"Yang kemarin mah beda lagi. Ayo cepat mumpung dia belum meninggalkan masjid!" Bisiknya lagi.
"Kenapa antum pengen kenalan lagi sih? Kemarinkan sudah," Tanya Indra berbisik.
"Cepat Ndra!" Perintah Alfa.
Indra beranjak berdiri, mendekat ke arah dimana Aqila berada, diikuti oleh Alfa di belakangnya.
"Qila, kamu pulang sama siapa?" Tanya Indra basa-basi.
"Aku pulang sama kakak aku, kenapa ya kak?" Tanya Aqila bingung.
"Nggak, cuma nanya aja." Indra cengengesan. "Oiya Qila, ini ada yang mau kenalan sama kamu." Lanjutnya.
"Siapa?" Tanya Aqila.
"Ini anaknya. Silahkan kenalan sendiri." Indra mempersilahkan kepada Alfa. Lalu ia berjalan keluar masjid.
Alfa segera menempelkan ujung tangan kanan dan kirinya untuk bersalaman dengan Aqila yang juga melakukan hal yang sama. Jabat tangan yang 'islami' itu dilakukan agar tidak seluruh telapak tangannya menyentuh telapak tangan Aqila.
"Alfa."
"Aqila," jawab Aqila sambil tersenyum. "Loh, bukannya kita sudah pernah kenalan yah kak? Yang di depan warung bu Ifah itu lho," kata Aqila seraya meyakinkan Alfa.
"Iya sih, tapi itukan kenalannya nggak secara langsung." Alfa cengengesan.
Obrolan perkenalan itu terus berlangsung dengan sedikit basa-basi. Alfa begitu nyaman berlama-lama bersama Qila yang tampak anggun denga tubuh dibalut baju muslimah.
Kini, Alfa sedang berhadapan dengan seseorang yang dianggapnya begitu mudah berubah penampilan luarnya. Seperti bunglon yang selalu berubah-ubah warna kulit untuk menyesuaikan diri. Kemarin, Qila memakai celana jeans dengan kaus tangan panjang tanpa jilbab, sekarang karena di masjid, ia memakai busana muslim.
Alfa seakan memandang Aqila tanpa berkedip. Apalagi, Aqila sepertinya enak diajak bicara. Sebenarnya Alfa tak tahu apa yang Qila ucapkan. Mulutnya membuka suara untuk puluhan kata-kata namun fikiran Alfa tidak terfokus terhadap apa yang keluar dari rongga tenggorokannya itu. Karena, pikirannya sudah terjajah oleh senyum Aqila.
"Tapi bagaimana kalau dia bukan tipe wanita yang setia? Nanti kalau pada akhirnya dia sama saya, saya takut dia akan berpaling dengan yang lain, lagi. Iiiihhh GR!" Pikir Alfa.
Segera ia buang jauh-jauh pikiran buruk itu jauh-jauh. Bukankah selama ini ia sudah terbiasa hidup tanpa cinta? Ya, karena cinta hanya akan membuatnya jatuh dalam kubangan derita. Setidaknya, hal itulah yang ia rasakan beberapa tahun yang lalu saat ia dikhianati oleh Jihan, cinta pertamanya. Hingga rasa frustasi mengantarnya untuk selalu berada bersama Allah hingga akhirnya ia menjadi takmir masjid.
"Qila, kamu sangat mirip dengan dia!" Pikirnya lagi.
Alfa seakan menemukan sosok Jihan pada diri Aqila. Namun, sekali lagi, dia ingin menepis masa lalunya yang berkelebat dalam memori ingatannya. Ia biarkan masa lalunya terkubur dalam timbunan kenangan yang tak ingin ia buka selamanya. Namun, apa ia mampu sedangkan seseorang yang menyibak masa lalunya kini sedang berada di hadapannya?
Astaghfirullah...>¤<
To be continue..
___________________________________
Jangan lupa vote🌟 and comment.. jgn lupa jga untuk bershalawat🌻
Baca part selanjutnya ya, see you next part guys..
Thanks for reading❤Salam penulis:
Helmaliayhy_
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasawuf Cinta
Spiritual"Karena sesungguhnya manusia hanya ingin di hargai tanpa tau caranya menghargai. Bahkan manusia hanya bisa menghakimi tanpa tau rasanya di hakimi. Dan parahnya lagi, berani berkata memaki tanpa tau apa yang terjadi." ~Alfa Aqila adalah sosok w...