01

3.6K 145 3
                                    

"Katherine, buruan dong! Udah laper nih!"

Aku mempercepat tempo dalam mengikat tali sepatuku, tiga detik kemudian, aku sudah berada di balkon kamar bersama laki-laki jangkung yang berpakaian mirip denganku.

"Ah, lama! dandan dulu ya?" ucapnya dengan seringai dibibirnya sebelum tiba-tiba menghilang—melompat di udara.

Sial, dia menantangku.

"Heh, Jeno! Enak aja, apa kamu bilang tadi? Awas aja, hari ini, semua hewan liar dihutan akan jadi milikku bahkan sebelum kamu sampai!" aku mempercepat langkahku diatas atap demi atap gedung yang sudah ditinggalkan.

"Kuanggap itu tantangan, Katherine!" jawab Jeno, entah darimana. Aku sudah berjalan—lebih tepatnya berlari terlalu kencang, pemandangan disekitarku layaknya dibawa hembusan angin.

Tanpa banyak berbicara, aku terus berlari dan melompat menuju Hutan Roseville. Tak membutuhkan waktu yang lama untukku menginjakkan kakiku yang berbalut boots hitam diatas tanah Hutan Roseville. Tanpa basa-basi, aku langsung mencari mangsaku untuk malam ini.

Dari arah tenggara, aku mendengar suara isakan anak rusa yang cukup menggoda.

Tapi dari arah timur laut, ada suara yang begitu asing—tapi familiar diwaktu yang sama.

gawat.

Ini suara aungan serigala. Sial, apa yang mereka lakukan diteritori kami?

"Jeno! Gawat!" aku berteriak, namun hasilnya nihil. Aku segera melompat keatas pohon cemara, mencari eksistensi Jeno. "Jeno! Gawat!" kuulang kata-kata itu berkali-kali sampai aku bisa melihat bayangan hitam menuju kesini.

"Sial, ngapain mereka disini?!" Jeno tampak emosi. "Jangan bilang—"

"Nggak! Gak mungkin! Pemimpin mereka sedang tidak jelas keberadaannya. Tidak mungkin mereka se-gegabah itu!" potongku.

Jeno berdecak seraya menggaruk rambutnya yang aku yakin tidak gatal

"Jadi gimana sekarang?" aku mengeluh. "Kita harus kasih tau mama." ucap Jeno.

"Jangan! Kamu udah gila?! Kalau Tante Lee tau, habis nyawa serigala itu!" aku menghalang Jeno. "Ide cemerlang, bukan?" tanya Jeno sarkas.

"Gimana kalau kita cek sendiri aja?" tanyaku pada Jeno. "Katherine, itu lebih gila. Gimana kalau ternyata alpha mereka sudah kembali?" Jeno berdecak. Aku tahu sebenarnya dia mau menyetujui ide-ku, tapi dia tahu kita tidak boleh gegabah.

"Tapi Jeno, terdengar sekali dari isakannya kalau ia kesakitan" ujarku menatap kearah timur laut. Suaranya masih terdengar dengan jelas oleh indra pendengaranku.

Jeno berdecak lagi, aku yakin ia sedang bepikir keras saat ini.

"Baiklah, aku turuti kemauanmu. Dengan satu syarat, tidak ada yang turun dari pohon. Kita pantau dari atas."

Aku mengangguk sebelum beranjak dari puncak pohon cemara ke pohon yang lain. Butuh waktu sedikit sampai aku berada tepat diatas titik dimana aku yakin suara aungan serigala tadi berasal.

Dibawah kami, ada seekor serigala remaja—terlihat dari ukurannya, yang sedang meraung kesakitan. Badannya meringkuk, menggesek tanah mencari kehangatan.

Bulu-bulu berwarna karamel terlihat indah dibawah sinar bulan. Ini pertama kalinya aku melihat serigala secara langsung kecuali saat perang. Aku menelan ludahku.

"Katherine, tahan!" Jeno berbisik. Aku tahu, dia pasti mengira aku sedang menatap serigala itu dengan nafsu makan yang tinggi. Tapi nyatanya asumsinya salah.

everlasting «na jaemin» √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang