03

1K 94 3
                                    

Aku dan Jeno berlari ditempo yang sama, mengingat tiga peraturan yang disebut Natalia,

"Satu, tidak boleh ada yang tertinggal. Dua, tidak boleh ada yang mendahului. Tiga, tidak ada yang boleh memperlambat."

Kalau bukan karena tiga peraturan tersebut dan wajah murka Natalia jika kami membantah, pasti aku dan Jeno sudah menganggap ini sebagai sebuah kompetisi.

Tidak bisa dipungkiri kami berdua memiliki sifat kompetitif yang sama, yang kurasa kami berdua dapatkan dari orang tua masing-masing, dan mereka dapatkan dari orang tua mereka. Kuakui satu keluarga kami berisi orang-orang ambisius dan kompetitif

Aku terus berlari, berusaha menahan diri untuk tidak melompat agar kecepatan lariku tetap stabil. Sejauh ini, aku sudah bisa melihat puncak bukit Hutan Roseville.

Sesampainya disana, aku langsung melakukan yang Natalia jelaskan tadi—menyatukan bibit mawarku dan bibit mawar Jeno sebelum ditanam. Kami mengapit dua bibit mawar tersebut, lalu menanamnya bersama-sama.

Lalu kami duduk bersila menghadapi satu sama lain, dengan bibit mawar yang sudah ditanam ditengah-tengah kami.

Aku menyatukan telapak tangan didepan dada, Jeno juga melakukan hal yang sama. Lalu kami menutup mata. Ritual terakhir—penyiraman bibit dimalam pertama.

Aku berkonsentrasi, tugas kami adalah mengangkat air yang tertimbun di akar pepohonan Hutan Roseville, dan memindahkan butir-butir air yang melayang diudara untuk menyiram bibit yang baru saja kami kubur dengan tanah.

Aku tidak boleh gagal—air adalah elemen vampire, akan memalukan sekali jika aku yang sudah berumur delapan belas tahun usia vampire gagal melakukan sesuatu sekecil menyiram tanaman.

Bahkan dengan keadaan menutup mata aku bisa menebak bahwa Jeno sedang menyeringai. Aku tahu dia sangat membanggakan fakta bahwa air adalah elemen milik kami para vampire.

Dan harus aku akui bahwa Jeno adalah salah satu vampire yang memilik ikatan kuat dengan elemen kami—sudah pasti dia tidak gugup melakukan ritual terakhir ini, elemen air sudah menjadi kebanggaannya sejak kecil.

Setelah merasa cukup, kami berdua melepas telapak tangan pelan-pelan, ini adalah bagian paling menguji adrenalin—karena kami tidak boleh membuka mata sampai ritual selesai.

Kami hanya bisa menebak apakah ritualnya sukses dari suara rintikan air. Jika tidak ada suara sama sekali, ya, sudah bisa ditebak kalau ritualnya gagal.

Aku meneguk ludahku, aku yakin kalau organ ekskresi-ku bekerja layaknya manusia biasa pasti sudah ada puluhan tetes keringat dari kedua pelipisku.

"satu," aku dan Jeno berhitung bersama, seraya aku mengubah posisi tanganku—tangan kiri bertumpu pada tangan kanan.

"dua," tangan kiri dan kananku perlahan memisah, menyisakan kedua ujung jari yang saling menyatu.

"tiga!" sekarang kedua telapak tanganku berada didepanku, tepat diatas titik dimana kami menanam bibit bunga.

tidak boleh gagal, tidak boleh gagal, tidak boleh gagal, tidak boleh gagal, tidak boleh gagal!























Byar!

Byar!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
everlasting «na jaemin» √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang