The Legacy of War oleh Firza Syifaunnisa - Part 1

227 16 0
                                    

Pangkep, 21 Februari 2001

Suasana sekitar perumahan Bungoro Indah ricuh, semua orang kalang kabut mencari tempat persembunyiannya masing-masing. Puluhan petugas keamanan yang di turunkan tidak mampu melawan sekelompok pemberontak bertopeng yang sejak setengah jam yang lalu membuat gaduh seisi kompleks. Langit malam pada waktu itu hitam pekat, tak ada bintang yang berminat muncul dari balik gumpalan awan. Yah, semua gelap tanpa cahaya. Sementara aku masih berdiri kaku di depan jendela lantai dua, memperhatikan masyarakat sipil adu tembak dengan pemberontak tersebut. Jasad demi jasad gugur tiap detik, tembakan demi tembakan bergema tanpa jeda. Aku melihatnya jelas, sangat jelas hingga sekujur tubuhku di basahi keringat dingin.

"Vany, apa yang kau lakukan disitu?"

"Tidak Ayah, Vany ingin kuat melihatnya!"

"Cukup Vany, jangan lakukan itu lagi!"

Ayah menghampiriku kemudian memelukku erat hingga aku bisa merasakan jantungnya yang berdebar begitu kuat.

Apa Ayah juga takut? Apa Ayah juga terlibat?

Pertanyaan demi pertanyaan bergantian muncul dalam benakku, menyisakan ketakutan yang luar biasa.

"Ayah, awas!"

Sebuah tembakan tepat mengenai kepala Ayahku, seorang anggota dari kelompok pemberontak bertopeng itu tiba-tiba datang dan menodongkan pistol ke arah kami berdua.

"Aku mohon hentikan!" pintaku kemudian bertekuk lutut di hadapannya.

*****

"Hey Van, are you okay?" Tanya Brayend yang tiba-tiba datang menghampiriku.

"Tidak sebaik dua tahun yang lalu." Jawabku sambil mendongakkan kepala padanya menatap kedua mata sahabat kecilku itu, mencoba mencari jawaban dari segudang pertanyaan yang dari dulu ingin kuperbincangkan dengannya.

"Ada yang ingin kukatakan padamu, Nona George."

Seakan tahu apa yang kupikirkan, Brayend kini membalas tatapanku. Tatapan yang selalu membuat kenyamanan dan keteduhan dalam hatiku.

"Katakanlah, aku sangat ingin mendengarkannya!"

Brayend menunduk sejenak, seakan dirinya sedang mengumpulkan kekuatan untuk berbicara.

"Kita harus ke Jerman minggu depan!" Ucapnya kemudian mengeluarkan sebuah amplop berwarna hijau dari saku celananya. Tanpa banyak bicara, aku segera membuka amplop hijau tersebut.

Apa kabar anakku? Jika kau sudah membaca surat ini, mungkin Ayah sudah tak bisa bersamamu lagi. Ketahuilah anakku, dunia ini begitu mengerikan untuk kau pelajari dan pahami, tapi kau bisa menjadikannya surga yang amat kau dambakan. Kelak suatu hari nanti, Ayah akan mati mengenaskan karena suatu hal yang hanya orang terpilih yang mengerti. Tapi ingatlah anakku, Ayah sama sekali tidak terlibat pekerjaan ilegal yang dari dulu selalu kau tuduhkan pada Ayah. 21 September 2004, saat itu kita sudah pindah ke Indonesia, kau tahu apa alasannya? Ayah diamanahkan oleh Badan Intelejen Jerman menjadi agen rahasia yang bertugas mencari tahu sebuah ruangan rahasia pasca perang dunia kedua. Ruangan yang dulu tuan Adolf Hitler bangun secara sembunyi-sembunyi. Ayah mewasiatkanmu untuk menyelesaikannya jika Ayah sudah pergi menemui ibumu di surga! Ketahuilah anakku, ini adalah misi yang sangat penting di negara kita. Jangan biarkan Amerika menguasai harta warisan leluhur kita! Laksanakanlah tugas maha penting ini demi pembelaanmu di tanah kelahiran Ayah! Biarkan selendang kehormatan itu terpasang indah di tubuhmu sebagai bukti bahwa kau adalah anak kebanggan Ayah.

CERPEN MY STORY WORLD 2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang