Petaka

24 2 0
                                    



Petaka

Gadis bernama Aya itu terhanyut dengan khayalannya. Ia menghapus air matanya. Banyak yang ia tak ketahui saat ia pergi. Banyak kejadian yang terjadi tanpanya. Dan ia kembali untuk sebuah kisah yang akan dituntaskan.

"Husna, gue bakal cari lo. Lo satu-satunya orang yang akui gue sebagai teman bahkan sahabat. Yang lain cuma datang pas butuh. Gue ngga bakal bisa lupa kebaikan lo."

Aya menghapus air mata di pipinya. Lalu membasuh wajahnya. Saat ia keluar dari bilik itu, ia berpapasan dengan Mufia.

"Aya." Mufia heran melihat Aya. Setaunya Aya sudah pindah ke Singapura. Itu yang ia tahu saat ia bertanya pada Alvin.

"Hai." Aya menyapa dengan senyum yang terkesan dipaksakan.

Mufia merasa Aya berbeda. Ia tak melihat sifat ceria dalam diri Aya lagi. Aya yang usil.

"Aya. Selama ini, kamu kemana aja ?"

"Hhhhh, aku berobat di Singapura."

"Kamu sakit apa ?"

"Ngga penting. Yang penting itu di mana Husna sekarang ?"

"Husna ?"

"Gue rasa lo ngga budek kan ?" Mufia terkejut mendengar perkataan Aya.

"Aya, kenapa...."

"Gue butuh jawaban yang to the point, ngga usah basa-basi."

"Dia hilang. Ngga tau ke mana."

"Trus kenapa kembarnya ada disini ?"

"Soal itu aku kurang tahu. Yang pasti Aliya Cuma tahu kalau Husna sekolah di Singapura."

"Besok pagi jam enam di perpus." Hanya itu yang Aya ucap sebelum keluar. Dan saat ia membuka pintu toilet ternyata di sana ada Aliya. Mufia panik.

"Jangan-jangan Aliya dengar" batin Mufia.

Aliya melepas headsetnya dan tersenyum ke arah Aya. Aya hanya membalasnya sekilas. Kemudian berlalu pergi.

"Itu siapa, Muf ?" tanya Aliya.

"itu Aliya Zahra. Tapi orang panggilnya Aya."

"Namanya mirip nama Ara mirip juga nama aku."

"Hm"

Siapa yang tahu saat itu Aliya ingin sekali menangis. Namun, Mufia terlalu cuek padanya.

.........

Husna terbangun, ia lagi-lagi hilang kendali.

"Ma. Husna bilang suruh orang itu pergi. Kenapa dia masih ada di sini ?" Husna berucap histeris.

"Husna, Tenang, Hus.."

"Pergi !!!!" Teriak Husna seraya berlari keluar kamar. Bu Azizah ingin menahannya namun Vania membiarkan Husna.

"Jangan memakai kekerasan pada Husna. Itu akan membuatnya semakin merasa terancam. Lebih baik kita ikuti dia." Bu Azizah dan Bu Hani hanya mengikuti perkataan Vania. Dan Saat mereka keluar dari kamar. Husna sudah berada di dekat tangga dengan pisau di tangannya.

"Kalian mendekat, yang kalian liat tinggal mayat."

"Husna jangan bodoh. Mama capek liat kamu terus-terusan begini, Husna."

"Husna juga capek, Ma. Capek !!!" Husna histeris benar-benar histeris. Apalagi saat Vania mencoba mendekat.

"Diam. Tetap di sana. Jangan mendekat ku bilang !!!" Husna seperti orang kesetanan.

"Ok, tapi pisau itu tolong, simpan. Itu bahaya." Vania mencoba membujuknya.

Husna nampak berpikir sesaat dan ia sudah nampak ingin menaruh pisau itu. Namun, saat melihat Bu Azizah yang tiba-tiba berjalan dengan cepat ke arahnya. Ia tidak jadi meletakkan pisau itu dan berlari. Naas, Husna kehilangan keseimbangannya dan akhirnya terjatuh di tangga dengan pisau yang menancap di perutnya.

"Husna !!!!!" Kini giliran Bu Azizah yang histeris. Husna bersimbah darah. Ketiga perempuan berbeda usia itu kalut. Vania segera menelepon ambulans. Bu Azizah benar-benar takut jikalau sampai terjadi apa-apa pada Husna. Beberapa menit kemudian Ambulans datang.

"Vania, tolong naik ke atas kunci kamar Husna. Aliya tidak boleh tahu rahasia ini." Ucap Bu Azizah seraya menyerahkan kunci kamar Husna kepada Vania. Setelah itu ia menyusul Husna yang sudah dibawa lebih dulu ke dalam Ambulans.

"Anaknya sekarat. Ia masih sempat ingin menyembunyikannya.Hn. " Vania tak menyangka.

Segera Vania ke kamar Husna. Saat ia ingin menutupnya tirai kamar Husna yang terbuka. Ia pun masuk dan menutup dengan rapi tirai tersebut. Saat akan keluar ia melihat sebuah diary biru di bawah tirai tersebut. Ia rasa ini diary Husna. Ia pun memasukkan diary tersebut ke dalam tasnya. Karena ia juga masih harus mengepel lantai yang bersimbah darah.

...........

Aliya memasuki rumah dengan lesu. Tadinya ia bahagia bersekolah di sekolah barunya. Namun, saat mendengar pembicaraan Mufia dan Aya ia tak tahu harus berkata apa. Tadi ia hanya pura-pura memakai headset agar Mufia tak tahu kalau ia mendengar semuanya.

"Ternyata Husna sempat sekolah disini. Pantesan aja semua heran. Ternyata Husna juga sekolah di sini." Aliya sungguh tak menyangka. Orangtuanya selalu mengatakan kalau Husna di Singapura. Tapi ternyata, hanya ia yang tak tahu.

"Ok, aku akan ikut serta dalam sandiwara ini. Mama, Papa, Mufia kalian aktingnya jago banget." Aliya kecewa. Husna pernah ada disini dan ia tak tahu. Sekarang ia akan mencari Husna.

Aliya naik ke atas, saat menaiki tangga matanya tertuju pada sebuah kalung nama. Kalung nama yang mirip dengan punyanya. Kalung nama itu bertuliskan nama...................Husna.

"Kalung Husna ? Sebenarnya ada apa hari ini ? Kenapa semuanya tentang Husna, Husna dan Husna ?" Aliya merogoh kantongnya mengambil handphonenya dan menelepon Mamanya.

"Halo. Assalamu 'alaikum. Mama di mana ?"

"Wa'alaikumus salaam. Mama ada urusan. Mungkin mama menginap. Papa juga lembur malam ini. Ara ada di rumah Mufia. Sudah yah, Nak."

"Ma..."

Tuut tuut tuuutt

Suara telepon yang diakhiri sepihak oleh Bu Azizah. Aliya tambah heran. Kali ini ia memang harus menyelidiki semuanya. Ia menatap kalung nama itu kemudian menggenggamnya erat.

"Sembunyiin aja, Ma. Aliya juga bakal serius buat nyari." Aliya berucap sungguh-sungguh.




🍁🍁🍁🍁

"Rahasia itu mulai terkuak, bukan darimu, tapi dari dia. Aku akan ikut dalam permainan sandiwaramu. Demi kisah selanjutnya."

🍁🍁🍁🍁🍁

La Tahzan ( Husna )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang