"Ih, liat dia deh. Culun banget"
"Gue udah mbayangin murid barunya cantik anjir."
"Sama, gue juga ngira bakal cantik. Eh tau begini."
"Serasa mengharapkan emas tapi dapetnya tai."
Ya, kira-kira begitulah bisikan-bisikan murid kelas XI MIPA 7 ketika ada seorang murid pindahan yang kini sedang berdiri di depan mereka.
"Perkenalkan, namanya saya Alisya Yuliana. Biasa dipanggil Ica."
"Maaf mbak, sayangnya kita gak pengen kenal. Ogah malah." Ucap Suren yang membuat seisi kelas tertawa.
"Suren! Sekali lagi kamu bertingkah seperti itu, saya bawa kamu ke BK." Suren bungkam. Bungkam yang disertai senyuman meremehkan. Karena dia tahu, ucapan Bu Mimi barusan dapat dengan mudah diselesaikan.
Manusia blasteran Indo-Hongkong ini adalah anak dari penyumbang terbesar SMA ini. Kaya? Tentu saja. Menurutnya masalah sekecil itu dapat diselesaikan dengan uang.
Suren menoleh ke arah Ardi yang duduk di seberang tempat duduknya. Dia daritadi tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Tersenyum pun tidak. Mukanya datar dan selalu datar. Ardi hanya bicara seperlunya.
"Ica, kamu duduk disebelah sana ya." ucap Bu Mimi seraya menunjuk sebuah tempat duduk yang kosong di bagian belakang. Ica mengangguk.
"Ibu tinggal dulu, ada yang perlu Ibu ambil." Ica mengangguk lagi.
Ica berjalan menuju tempat duduknya. Tetapi, tidak lama kemudian..
BRUKKK!!
Ica jatoh.
"Mbak, matanya udah empat kok masih kesandung aja? Belom cukup? Nambah lagi aja di jidat satu! Biar kayak dajjal. WAHAHAHAHAHA." Suren kembali membuat seisi kelas tertawa. Tapi tidak dengan Ardi. Dia tetap dengan wajah datarnya. Tanpa ada secuilpun ekspresi.
"Di, lo ketawa napa sih." Ardi tak menggubris Suren. Dia justru mengulurkan tangannya kepada Ica yang masih tersungkur diantara Dia dan Suren.
Ica bingung. Dia memandangi tangan dan wajah Ardi bergantian.
"Ini pegang! Gak mau gue bantu?" Ica meraih tangan Ardi yang kemudian mengangkatnya pelan.
"Makasih." ucap Ica kemudian pergi.
Mata Suren memincing kearah Ardi. Begitupun sebaliknya.
"Lu sekarang gak seru, Di."
~¤~
Hari pertama sudah Ica lalui dengan lancar. Sekarang Ica akan menjalani hari kedua di sekolah barunya. Dia berjalan memasuki gerbang sekolahnya. Berjalan serambi memasang wajah ceria dengan senyuman yang tercetak sempurna.
SRRTTT!!
Tiba-tiba ada seseorang yang menariknya secara paksa. Cengkramannya kuat. Sangat kuat.
Ica tak tau siapa. Yang jelas dia laki-laki. Dan mereka pun berhenti di lobi depan.
"Ardi?" ya, Ardi lah tersangkanya. Dialah yang membawa Ica sampai sini.
"Ada apa?" Ardi tak menjawab. Dia tiba-tiba memegang bahu Ica dan..
BRUKK!!
Ardi mendorong Ica kasar. Ica kaget. Bagaimana tidak. Setelah Ardi mendorongnya, datang Lami dan Erika yang tiba-tiba mengguyurnya dengan tepung dan Suren yang melemparinya telur.
Tak butuh waktu lama, lobi depan sudah dikelilingi oleh jutaan murid yang baru saja berangkat. Menyaksikan apa yang mereka tunggu-tunggu.
Ardi melangkah mendekati Ica. Jongkok, membuang napas, dan menarik rambut Ica kasar.
"Eh, cupu! Ngapain sih lu pindah ke sekolah ini? Udah tau kan kalo sekolah ini sekolahnya orang elite? Kalo muka-muka kaya lo sih paling cuma dapet beasiswa. Dasar miskin"
Para murid berbisik. Tak percaya apa yang tengah mereka lihat. Dan sesegera mungkin mengambil ponsel, lalu mendokumentasikannya.
Ini adalah momentum berharga bagi mereka, para siswa dan siswi SMA CENDEKIA. Dimana Ardi, seseorang yang dikenal pendiam, kalem dan dingin membully seorang siswi baru yang sebenarnya tak bersalah. Bahkan sama sekali tak bersalah.
"Kenapa lo gak ngaca dulu sebelum masuk sekolah ini? Liat noh, rambut ucel-ucelan, muka pas-pasan, pake kacamata, miskin lagi. Gak pantes banget tau gak?" Ardi mengencangkan tarikannya dan menarik rambut Ica lebih ke belakang. Sakit? Gak usah tanya.
Rasanya Ica ingin menangis sekarang juga. Tapi dia tau, dengan menangis masalah tak akan terselesaikan.
Dia hanya bisa mengepalkan tangannya, menahan amarahnya.
Ica melirik Ardi. Dia sekarang tau kalo dia sudah salah menilai Ardi.
Ardi mendorong kepala Ica ke depan. Lalu meninggalkan lobi bersama Suren dan kawan-kawan.
"Seragam semahal ini mana bisa dia beli pake duit sendiri, paling juga dapet gratis." ucap Lami yang ditemani Erika, dan merekapun menyusul Ardi and the geng.
Masih banyak murid yang masih disana, sekedar mengambil foto Ica yang malang tanpa ada sedikitpun rasa ingin menolong.
"APA-APAAN NIH? KALIAN MANUSIA APA SETAN SIH? ADA ANAK DIBULLY BUKANNYA DITOLONGIN MALAH DIPERTONTONIN. BUBAR BUBAR!!"
Semua murid pergi sambil menyoraki orang yang baru saja mengusir mereka. Orang itu mendekati Ica, memberikan sedikit simpati.
"Lu gak papa kan?"
Ica membisu, matanya tak bisa berhenti menatap orang didepannya.
Orang yang datang ketika orang lain tak peduli padanya.
~°•°~
Gimana?
Udah tau kan siapa pembullynya?Kata-katanya kok jadi baku gini ya?.. Hehe
Ini udah panjang atau masih pendek?
Next or no?
KAMU SEDANG MEMBACA
[hiatus] Bully | Park Sungwon
Teen Fiction✏You are my sun, my moon, and all my star's